Apa Dampak Psikologis dari Masturbasi?
-
Robi Maulana - 28 May, 2024
Masturbasi, suatu aspek universal dari seksualitas manusia, telah menjadi subjek penelitian psikologis dan eksplorasi teoretis yang luas. Didefinisikan sebagai stimulasi erotis pada organ genital sendiri, yang biasanya menghasilkan orgasme, masturbasi dapat dicapai melalui kontak manual, manipulasi instrumental, atau fantasi seksual (Merriam-Webster, n.d.). Perilaku ini secara luas diakui sebagai bagian normal dan sehat dari ekspresi seksual manusia, dengan konsensus medis yang menegaskan manfaat psikologis dan fisiknya (Bowman, 2025).
Secara historis, masturbasi diselimuti oleh kesalahpahaman dan tabu budaya. Gagasan “masturbatory insanity,” yang mengemukakan hubungan antara masturbasi dan penyakit mental, lazim terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 (Whorton, 2001). Namun, penelitian psikologis kontemporer telah membantah mitos-mitos ini, menekankan bahwa masturbasi hanya dianggap abnormal bila menjadi kompulsif, menghambat perilaku berorientasi pada pasangan, atau dilakukan di depan umum (Vitz & Williams, 2023).
Literatur psikologis menyoroti sifat masturbasi yang beragam, yang dapat melayani berbagai fungsi, termasuk meredakan stres, eksplorasi identitas seksual, dan peningkatan kesehatan seksual (Coleman, 2003). Studi-studi terbaru telah mengeksplorasi peran masturbasi sebagai strategi koping, terutama pada wanita, dan potensi dampaknya terhadap kesehatan kognitif (Wehrli et al., 2024). Selain itu, hubungan antara masturbasi dan kepuasan seksual telah ditinjau secara sistematis, menggarisbawahi kontribusi positifnya terhadap kesejahteraan secara keseluruhan (Cervilla et al., 2024).
Definisi masturbasi, bagaimanapun, tidak disepakati secara universal. Penelitian menunjukkan bahwa persepsi individu tentang apa yang membentuk masturbasi bervariasi secara signifikan, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, dan pengalaman pribadi (Kirschbaum & Peterson, 2025). Variabilitas ini menggarisbawahi pentingnya definisi yang jelas dan spesifik dalam penelitian psikologis dan praktik klinis untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan keakuratan pengumpulan data (Lehmiller, 2019).
Singkatnya, masturbasi adalah perilaku yang kompleks dan beragam yang memainkan peran penting dalam seksualitas manusia. Meskipun kesalahpahaman historis sebagian besar telah dihilangkan, penelitian yang sedang berlangsung terus mengeksplorasi implikasi psikologis dan signifikansi budayanya. Memahami masturbasi dalam kerangka teori psikologis yang mapan dan penelitian yang diakui sangat penting untuk menumbuhkan perspektif yang komprehensif dan bernuansa tentang aspek mendasar dari perilaku manusia ini.
Definisi dan Perspektif Psikologis tentang Masturbasi
Konteks Sejarah dan Evolusi Definisi
Konsep masturbasi telah berkembang secara signifikan seiring waktu, beralih dari tindakan yang dikutuk secara moral menjadi aspek seksualitas manusia yang diakui. Secara historis, masturbasi sering dikaitkan dengan hasil kesehatan yang negatif, sebuah gagasan yang mendapat daya tarik pada abad ke-18 dan ke-19. Misalnya, gagasan “masturbatory insanity” lazim terjadi, di mana masturbasi yang berlebihan diyakini menyebabkan penyakit mental (Hare, 1962). Perspektif ini sebagian besar dibantah oleh penelitian modern, yang sekarang mengakui masturbasi sebagai perilaku seksual yang normal dan sehat (Coleman, 2003).
Definisi masturbasi juga telah dipengaruhi oleh norma budaya dan masyarakat. Di banyak masyarakat Barat, masturbasi semakin diakui karena berbagai manfaatnya, termasuk memfasilitasi praktik seksual yang lebih menyenangkan dan mengarah pada pengetahuan tubuh, agensi seksual, dan harga diri seksual yang lebih besar (Carvalheira & Leal, 2013). Meskipun manfaat ini ada, sikap masyarakat terhadap masturbasi tetap kompleks, dengan tingkat penerimaan dan stigma yang bervariasi (Kirschbaum & Peterson, 2018).
Perspektif Psikologis tentang Masturbasi
Teori Kognitif dan Perilaku
Teori kognitif dan perilaku memberikan wawasan tentang aspek psikologis masturbasi. Dari perspektif kognitif, masturbasi dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi seksual yang melibatkan gambaran mental dan fantasi. Proses kognitif ini memainkan peran penting dalam gairah dan kepuasan seksual (Mah & Binik, 2005). Teori perilaku, di sisi lain, memandang masturbasi sebagai perilaku yang dipelajari yang dapat dipengaruhi oleh reinforcement dan conditioning. Reinforcement positif, seperti kenikmatan yang diperoleh dari masturbasi, dapat memperkuat perilaku, menjadikannya aktivitas yang berulang (Coleman, 2003).
Perspektif Psikodinamika
Teori psikodinamika mengeksplorasi motivasi dan konflik bawah sadar yang terkait dengan masturbasi. Freud, misalnya, memandang masturbasi sebagai manifestasi dari hasrat dan konflik bawah sadar, sering kali terkait dengan pengalaman masa kanak-kanak awal (Freud, 1905). Perspektif psikodinamika modern terus memeriksa peran masturbasi dalam perkembangan psikologis dan potensinya untuk mengatasi masalah emosional yang belum terselesaikan (Chaudhary, Singh, & Varshney, 2022).
Perspektif Humanistik dan Eksistensial
Teori humanistik dan eksistensial menekankan pentingnya aktualisasi diri dan pertumbuhan pribadi. Dari perspektif ini, masturbasi dapat dilihat sebagai sarana untuk mengeksplorasi seksualitas seseorang dan mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Masturbasi juga dapat berfungsi sebagai mekanisme koping untuk stres dan kecemasan, mempromosikan kesejahteraan mental (Wehrli, Bodenmann, Clemen, & Weitkamp, 2024). Pandangan eksistensial menyoroti peran masturbasi dalam konteks keberadaan manusia yang lebih luas, mengeksplorasi tema otonomi, kebebasan, dan tanggung jawab pribadi (Coleman, 2003).
Perspektif Sosial dan Budaya
Perspektif sosial dan budaya menguji pengaruh norma masyarakat dan nilai-nilai budaya terhadap sikap terhadap masturbasi. Perspektif ini menyoroti peran sosialisasi dalam membentuk keyakinan dan perilaku individu terkait masturbasi. Misalnya, tabu budaya dan keyakinan agama dapat secara signifikan memengaruhi bagaimana individu memandang dan terlibat dalam masturbasi (Stolberg, 2000). Memahami pengaruh sosial dan budaya ini sangat penting untuk mempromosikan pandangan yang lebih inklusif dan menerima terhadap masturbasi (Coleman, 2003).
Manfaat dan Risiko Psikologis
Manfaat Masturbasi
Masturbasi telah dikaitkan dengan banyak manfaat psikologis. Masturbasi dapat berfungsi sebagai strategi koping untuk mengelola stres, kecemasan, dan depresi (Wehrli, Bodenmann, Clemen, & Weitkamp, 2024). Masturbasi juga dapat meningkatkan kepuasan seksual dan meningkatkan kesehatan seksual secara keseluruhan (Coleman, 2003). Selain itu, masturbasi dapat mempromosikan kesadaran tubuh dan harga diri, berkontribusi pada citra diri yang positif (Carvalheira & Leal, 2013).
Risiko dan Kekhawatiran
Meskipun masturbasi umumnya dianggap sebagai perilaku yang sehat, ada potensi risiko dan kekhawatiran. Masturbasi yang berlebihan dapat menyebabkan perilaku kompulsif, yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan hubungan (Miner, Dickenson, & Coleman, 2019). Penting untuk membedakan antara masturbasi yang sehat dan perilaku bermasalah yang mungkin memerlukan intervensi psikologis (Coleman, 2003).
Perbedaan Budaya dan Gender
Variasi Budaya
Sikap terhadap masturbasi bervariasi secara signifikan di berbagai budaya. Di beberapa budaya, masturbasi secara terbuka didiskusikan dan diterima, sementara di budaya lain, masturbasi distigmatisasi dan tabu (Stolberg, 2000). Perbedaan budaya ini dapat memengaruhi pengalaman dan persepsi individu tentang masturbasi (Carvalheira & Leal, 2013).
Perbedaan Gender
Perbedaan gender dalam praktik dan sikap masturbasi telah dipelajari secara ekstensif. Penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita dapat terlibat dalam masturbasi karena alasan yang berbeda dan dengan frekuensi yang bervariasi (Gerressu, Mercer, Graham, Wellings, & Johnson, 2008). Memahami perbedaan gender ini dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi masturbasi (Coleman, 2003).
Kesimpulan
Definisi dan perspektif psikologis tentang masturbasi telah berkembang secara signifikan dari waktu ke waktu, mencerminkan perubahan dalam sikap masyarakat dan pemahaman ilmiah. Dari kesalahpahaman historis hingga teori psikologis modern, masturbasi sekarang diakui sebagai aspek seksualitas manusia yang normal dan bermanfaat. Memahami manfaat dan risiko psikologis, serta perbedaan budaya dan gender, sangat penting untuk mempromosikan pandangan masturbasi yang sehat dan inklusif.
Referensi
- Carvalheira, A., & Leal, I. (2013). Masturbation among women: Associated factors and sexual response in a Portuguese community sample. Journal of Sex & Marital Therapy, 39(4), 347–367. DOI
- Coleman, E. (2003). Masturbation as a means of achieving sexual health. Journal of Psychology & Human Sexuality, 14(2-3), 5–16. DOI
- Freud, S. (1905). Three essays on the theory of sexuality. The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, 7, 123–243.
- Hare, E. H. (1962). Masturbatory insanity: The history of an idea. The Journal of Mental Science, 108, 1–25. DOI
- Mah, K., & Binik, Y. M. (2005). Are orgasms in the mind or the body? Psychosocial versus physiological correlates of orgasmic pleasure and satisfaction. Journal of Sex & Marital Therapy, 31(3), 187–200. DOI
- Miner, M. H., Dickenson, J., & Coleman, E. (2019). Effects of emotions on sexual behavior in men with and without hypersexuality. Sexual Addiction & Compulsivity, 26(1–2), 24–41. DOI
- Stolberg, M. (2000). An unmanly vice: Self-pollution, anxiety, and the body in the eighteenth century. Social History of Medicine, 13(1), 1–22. DOI
- Wehrli, F. S. V., Bodenmann, G. J., Clemen, J., & Weitkamp, K. (2024). Exploring the role of masturbation as a coping strategy in women. International Journal of Sexual Health: Official Journal of the World Association for Sexual Health, 36(3), 237–256. DOI
Pandangan Historis dan Budaya tentang Masturbasi
Peradaban Kuno dan Sikap Awal
Pandangan historis dan budaya tentang masturbasi telah mengalami transformasi signifikan di berbagai peradaban dan periode waktu. Dalam budaya Sumeria kuno, masturbasi secara luas dipraktikkan dan diyakini dapat meningkatkan potensi seksual bagi pria dan wanita. Orang Sumeria sering terlibat dalam masturbasi, baik sendirian maupun bersama pasangan, dan menggunakan minyak khusus untuk meningkatkan gesekan. Praktik ini juga terhubung dengan tindakan penciptaan dalam mitologi Sumeria, di mana dewa Enki diyakini telah menciptakan sungai Tigris dan Efrat dengan masturbasi dan ejakulasi ke dasar sungai yang kosong (History of masturbation - Wikipedia, n.d.).
Di Mesir kuno, masturbasi pria dianggap sebagai tindakan kreatif atau magis. Dewa Atum diyakini telah menciptakan alam semesta dengan masturbasi hingga ejakulasi. Hubungan positif dengan penciptaan dan sihir ini sangat kontras dengan pandangan orang Yunani kuno, yang menganggap masturbasi sebagai tindakan tidak beradab dan hanya cocok untuk budak, barbar, dan wanita. Orang Yunani mengaitkan seksualitas pria dengan dinamika kekuasaan, dan masturbasi dilihat sebagai tindakan pasif, cukup baik untuk pria berstatus rendah dan kelompok terpinggirkan lainnya (History of masturbation - Wikipedia, n.d.).
Periode Abad Pertengahan dan Renaisans
Selama periode abad pertengahan, sikap terhadap masturbasi dipengaruhi oleh keyakinan agama. Umat Kristen awal melihat masturbasi sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan teolog abad pertengahan berpendapat bahwa itu adalah dosa besar yang analog dengan pembunuhan. Talmud dan Midrash memiliki prioritas lain, dan masturbasi bukan topik diskusi yang signifikan. Namun, pada abad ke-18, periode toleransi relatif berakhir, dan masturbasi mulai dianggap sebagai penyakit yang membutuhkan pengobatan, bahkan intervensi bedah dalam beberapa kasus. Masturbasi juga diekspos pada kecaman moral dan diletakkan di bawah kontrol pedagogis yang ketat (Corpus Mundi, n.d.).
Periode Renaisans melihat pergeseran sikap, di mana masturbasi tidak dianggap sebagai dosa besar, meskipun banyak penulis mengutuknya. Evolusi sikap terhadap masturbasi mencerminkan perubahan budaya dan masyarakat yang lebih luas pada saat itu, dengan masturbasi dianggap sebagai konstruksi budaya yang berasal dari dominasi mental pada saat itu dan masyarakat (Corpus Mundi, n.d.).
Pandangan Medis dan Filosofis Abad ke-18 dan ke-19
Abad ke-18 menandai titik balik yang signifikan dalam persepsi masturbasi, terutama dengan publikasi “Onania; or, The Heinous Sin of Self Pollution, and all its Frightful Consequences” pada tahun 1712. Buku ini menamakan penyakit baru dan menciptakan mesin yang hampir universal untuk menghasilkan rasa bersalah, malu, dan kecemasan. Komunitas medis bergabung dalam kecaman, dengan Samuel Tissot, seorang neurolog Katolik dan penasihat Vatikan, menyebabkan revolusi dalam opini medis Euro-Amerika dengan menghubungkan masturbasi dengan kegilaan. Dokter dan peneliti medis abad ke-18 di seluruh Eropa dan Amerika Serikat, serta filsuf seperti Voltaire dan Rousseau, mengaitkan sejumlah besar penyakit fisik dan mental dengan masturbasi (JSTOR Daily, n.d.).
Pada akhir abad ke-19, banyak dokter menyalahkan masturbasi atas neurosis, neurasthenia, dan penyakit saraf, yang merupakan diagnosis yang semakin umum. Untuk mengekang masalah ini, mereka meresepkan hukuman, pengendalian diri, dan pembatasan diet. Di awal kariernya, Sigmund Freud setuju dengan gagasan “masturbatory neurosis,” tetapi ia juga berpendapat bahwa represi seksual itu sendiri adalah penyebab neurosis. Freud mengamati banyak pasien, terutama wanita, menderita gangguan akibat rasa bersalah obsesif setelah praktik masturbasi. Akhirnya, Freud menyimpulkan bahwa relaksasi pada tabu seputar masturbasi mungkin mencegah, daripada menyebabkan, neurosis (JSTOR Daily, n.d.).
Pergeseran Abad ke-20 dan Perspektif Modern
Abad ke-20 melihat pergeseran signifikan dalam sikap terhadap masturbasi, sebagian besar dipengaruhi oleh karya H. Havelock Ellis dan Sigmund Freud. Ellis, dalam karyanya yang terkenal pada tahun 1897 “Studies in the Psychology of Sex,” mempertanyakan premis Tissot dan berusaha membantah setiap penyakit yang diklaim sebagai penyebab masturbasi. Ia menyimpulkan bahwa dalam kasus masturbasi moderat pada individu yang sehat dan terlahir baik, tidak ada hasil yang merusak secara serius yang akan terjadi (Wikipedia, n.d.).
Karya Freud juga memainkan peran penting dalam mengubah sikap medis terhadap masturbasi. Dalam “Three Essays on the Theory of Sexuality,” Freud membahas masturbasi dan mengaitkannya dengan zat adiktif. Ia menggambarkan masturbasi bayi pada periode ketika bayi menyusui, pada usia empat tahun, dan pada masa pubertas. Pertemuan lingkaran psikoanalitik Wina membahas efek moral atau kesehatan dari masturbasi, tetapi publikasinya ditekan (Wikipedia, n.d.).
Pada pertengahan abad ke-20, komunitas medis sebagian besar telah menerima masturbasi sebagai aspek seksualitas manusia yang normal dan sehat. Asosiasi Medis Amerika secara konsensual menyatakan masturbasi sebagai hal yang normal pada tahun 1972, dan Asosiasi Psikiatri Amerika menghapus masturbasi dari daftar gangguan mentalnya dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada tahun 1973. Pergeseran dalam konsensus ilmiah ini mencerminkan penerimaan budaya yang lebih luas terhadap masturbasi sebagai aspek seksualitas manusia yang normal dan bermanfaat (Wikipedia, n.d.).
Pengaruh Budaya dan Agama
Pengaruh budaya dan agama telah memainkan peran penting dalam membentuk sikap terhadap masturbasi. Di banyak masyarakat Barat, masturbasi semakin diakui karena berbagai manfaatnya, termasuk memfasilitasi praktik seksual yang lebih menyenangkan dan mengarah pada pengetahuan tubuh, agensi seksual, dan harga diri seksual yang lebih besar (Carvalheira & Leal, 2013). Meskipun manfaat ini ada, sikap masyarakat terhadap masturbasi tetap kompleks, dengan tingkat penerimaan dan stigma yang bervariasi (Stolberg, 2000).
Di beberapa budaya, masturbasi secara terbuka didiskusikan dan diterima, sementara di budaya lain, masturbasi distigmatisasi dan tabu. Perbedaan budaya ini dapat memengaruhi pengalaman dan persepsi individu tentang masturbasi. Misalnya, di beberapa komunitas agama, masturbasi dianggap sebagai dosa dan dilarang keras. Sebaliknya, di masyarakat yang lebih sekuler, masturbasi sering dilihat sebagai aspek seksualitas manusia yang normal dan sehat (Stolberg, 2000).
Pandangan Kontemporer dan Debat yang Sedang Berlangsung
Pandangan kontemporer tentang masturbasi terus berkembang, dengan debat yang sedang berlangsung tentang manfaat dan risiko psikologis dan fisik. Sementara masturbasi umumnya dianggap sebagai perilaku yang sehat, ada potensi risiko dan kekhawatiran. Masturbasi yang berlebihan dapat menyebabkan perilaku kompulsif, yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan hubungan (Miner, Dickenson, & Coleman, 2019). Penting untuk membedakan antara masturbasi yang sehat dan perilaku bermasalah yang mungkin memerlukan intervensi psikologis (Wehrli, Bodenmann, Clemen, & Weitkamp, 2024).
Manfaat psikologis masturbasi termasuk pengurangan stres, peningkatan suasana hati, dan peningkatan kepuasan seksual. Masturbasi juga dapat berfungsi sebagai mekanisme koping untuk stres dan kecemasan, mempromosikan kesejahteraan mental. Namun, penting untuk mengenali bahwa masturbasi yang berlebihan dapat menyebabkan hasil negatif, seperti rasa bersalah, malu, dan kecemasan. Memahami manfaat dan risiko psikologis masturbasi sangat penting untuk mempromosikan pandangan masturbasi yang sehat dan inklusif (Gerressu, Mercer, Graham, Wellings, & Johnson, 2008).
Perbedaan Gender dan Budaya
Perbedaan gender dalam praktik dan sikap masturbasi telah dipelajari secara ekstensif. Penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita dapat terlibat dalam masturbasi karena alasan yang berbeda dan dengan frekuensi yang bervariasi. Memahami perbedaan gender ini dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi masturbasi. Misalnya, pria lebih mungkin untuk masturbasi untuk pelepasan seksual, sementara wanita dapat masturbasi untuk menghilangkan stres atau untuk mengeksplorasi seksualitas mereka (Gerressu, Mercer, Graham, Wellings, & Johnson, 2008).
Variasi budaya dalam sikap terhadap masturbasi juga signifikan. Di beberapa budaya, masturbasi secara terbuka didiskusikan dan diterima, sementara di budaya lain, masturbasi distigmatisasi dan tabu. Perbedaan budaya ini dapat memengaruhi pengalaman dan persepsi individu tentang masturbasi. Misalnya, di beberapa budaya Asia, masturbasi sering dilihat sebagai tindakan pribadi dan memalukan, sementara di budaya Barat, masturbasi lebih terbuka didiskusikan dan diterima (Carvalheira & Leal, 2013).
Kesimpulan
Pandangan historis dan budaya tentang masturbasi telah mengalami transformasi signifikan di berbagai peradaban dan periode waktu. Dari budaya Sumeria dan Mesir kuno hingga periode abad pertengahan dan Renaisans, dan dari pandangan medis dan filosofis abad ke-18 dan ke-19 hingga pergeseran abad ke-20 dan perspektif modern, sikap terhadap masturbasi telah berevolusi sebagai respons terhadap perubahan budaya dan masyarakat yang lebih luas. Memahami pandangan historis dan budaya ini sangat penting untuk mempromosikan pandangan masturbasi yang lebih inklusif dan menerima sebagai aspek seksualitas manusia yang normal dan sehat.
Penelitian Kontemporer dan Kesalahpahaman
Definisi dan Ruang Lingkup Masturbasi
Masturbasi didefinisikan sebagai tindakan menyentuh atau merangsang tubuh sendiri, terutama alat kelamin, untuk tujuan kenikmatan seksual dan/atau orgasme. Definisi ini mencakup berbagai perilaku dan praktik yang bervariasi di seluruh individu dan budaya. Istilah ini paling umum digunakan untuk menggambarkan masturbasi soliter, di mana individu memberikan stimulasi seksual pada diri mereka sendiri saat mereka sendirian secara fisik. Namun, masturbasi bersama, di mana dua orang atau lebih secara manual merangsang tubuh mereka sendiri atau tubuh satu sama lain, juga diakui sebagai bentuk masturbasi (Bowman, 2025).
Manfaat Psikologis dan Fisiologis
Penelitian kontemporer telah menyoroti banyak manfaat psikologis dan fisiologis yang terkait dengan masturbasi. Studi telah menunjukkan bahwa masturbasi dapat mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan. Misalnya, sebuah studi yang diterbitkan dalam Archives of Sexual Behavior menemukan bahwa masturbasi teratur terkait dengan tingkat kecemasan, depresi, dan stres yang lebih rendah pada mahasiswa (Brauer & Fehr, 2017). Selain itu, masturbasi telah dikaitkan dengan peningkatan fungsi seksual, peningkatan hasrat seksual, dan peningkatan kepuasan seksual (Santosa & Putra, 2017).
Pengaruh Budaya dan Agama
Meskipun manfaat yang diakui, sikap budaya dan agama terus membentuk pandangan masyarakat tentang masturbasi. Banyak agama memberlakukan kode moral yang ketat yang melarang atau tidak menganjurkan perilaku seksual di luar pernikahan heteroseksual, termasuk stimulasi diri. Sikap ini dapat menyebabkan perasaan malu dan tabu, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan seksual dan kesejahteraan individu (SoftMindIndia, 2024). Kurangnya diskusi terbuka tentang masturbasi juga telah memicu kesalahpahaman dan sikap negatif, dengan pemahaman banyak individu tentang masturbasi terbatas pada apa yang mereka dengar dari teman atau lihat di media.
Perbedaan Gender dan Sikap Masyarakat
Perbedaan gender dalam sikap terhadap masturbasi juga terbukti. Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita mungkin mengalami lebih banyak stigma dan rasa malu yang terkait dengan masturbasi dibandingkan dengan pria. Disparitas ini dapat dikaitkan dengan norma masyarakat dan harapan budaya yang sering memandang seksualitas wanita sebagai sesuatu yang lebih terbatas dan terkontrol (Meiller & Hargons, 2019). Namun, studi kontemporer semakin mengakui pentingnya masturbasi sebagai sarana untuk mencapai kesehatan seksual dan kesejahteraan bagi individu dari semua gender.
Perspektif Evolusioner dan Biologis
Dari perspektif evolusioner, masturbasi dapat melayani fungsi adaptif, seperti meningkatkan keberhasilan reproduksi dan mengurangi risiko infeksi menular seksual. Penelitian tentang aspek evolusioner masturbasi menunjukkan bahwa masturbasi mungkin telah memainkan peran dalam perkembangan seksualitas manusia dan strategi reproduksi (Brindle et al., 2023). Temuan ini menantang kesalahpahaman yang telah lama dipegang tentang efek merugikan masturbasi pada kesehatan dan fungsi kognitif.
Kesalahpahaman Historis dan Pembantahan Modern
Secara historis, masturbasi sering dikaitkan dengan hasil kesehatan yang negatif, sebuah gagasan yang mendapat daya tarik pada abad ke-18 dan ke-19. Gagasan “masturbatory insanity” lazim terjadi, di mana masturbasi yang berlebihan diyakini menyebabkan penyakit mental (Hare, 1962). Keyakinan ini sebagian besar dibantah oleh penelitian modern, yang sekarang mengakui masturbasi sebagai perilaku seksual yang normal dan sehat (Coleman, 2003).
Pandangan Kontemporer dan Debat yang Sedang Berlangsung
Pandangan kontemporer tentang masturbasi terus berkembang, dengan debat yang sedang berlangsung tentang manfaat dan risiko psikologis dan fisik. Sementara masturbasi umumnya dianggap sebagai perilaku yang sehat, ada potensi risiko dan kekhawatiran. Masturbasi yang berlebihan dapat menyebabkan perilaku kompulsif, yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan hubungan (Miner, Dickenson, & Coleman, 2019). Penting untuk membedakan antara masturbasi yang sehat dan perilaku bermasalah yang mungkin memerlukan intervensi psikologis.
Teori Psikologis dan Masturbasi
Teori psikologis juga telah berkontribusi pada pemahaman masturbasi. Teori kognitif dan perilaku menunjukkan bahwa masturbasi bisa menjadi bentuk self-soothing dan penghilang stres. Perspektif psikodinamika memandang masturbasi sebagai sarana untuk mengeksplorasi dan memahami tubuh dan hasrat seksual sendiri. Perspektif humanistik dan eksistensial menekankan pentingnya masturbasi sebagai sarana untuk mencapai kepuasan seksual dan aktualisasi diri (Kaminsky-Bayer, 2020).
Implikasi Sosial dan Arah Masa Depan
Implikasi sosial masturbasi sangat luas. Stigma dan tabu seputar masturbasi dapat mencegah individu untuk mencari informasi atau dukungan, yang secara negatif memengaruhi kesehatan seksual dan kesejahteraan mereka. Mendorong diskusi terbuka tentang masturbasi dan mempromosikan pandangan seksualitas manusia yang lebih menerima dan inklusif adalah langkah-langkah penting untuk mengatasi masalah ini. Penelitian di masa depan harus terus mengeksplorasi manfaat psikologis dan fisiologis masturbasi, serta faktor-faktor budaya dan sosial yang memengaruhi sikap terhadapnya.
Kesimpulan
Singkatnya, penelitian kontemporer telah secara signifikan memajukan pemahaman kita tentang masturbasi, menyoroti manfaat psikologis dan fisiologisnya. Meskipun ada kesalahpahaman historis dan pengaruh budaya dan agama yang sedang berlangsung, masturbasi semakin diakui sebagai aspek seksualitas manusia yang normal dan sehat. Mengatasi stigma dan tabu seputar masturbasi sangat penting untuk mempromosikan pandangan seksualitas manusia yang lebih inklusif dan menerima.
Kesimpulan
Laporan penelitian ini secara komprehensif mengeksplorasi definisi dan perspektif psikologis tentang masturbasi, menyoroti evolusinya dari kesalahpahaman historis hingga pemahaman kontemporer. Masturbasi didefinisikan sebagai tindakan merangsang alat kelamin sendiri untuk kenikmatan seksual dan/atau orgasme, yang mencakup berbagai perilaku dan praktik. Laporan ini menggali berbagai teori psikologis, termasuk perspektif kognitif, perilaku, psikodinamika, humanistik, dan eksistensial, yang secara kolektif menggarisbawahi sifat masturbasi yang beragam. Khususnya, masturbasi diakui karena manfaat psikologisnya, seperti pengurangan stres, peningkatan suasana hati, dan peningkatan kepuasan seksual, meskipun potensi risiko seperti perilaku kompulsif juga diakui (Coleman, 2003; Wehrli, Bodenmann, Clemen, & Weitkamp, 2024).
Perbedaan budaya dan gender secara signifikan memengaruhi sikap terhadap masturbasi, dengan tingkat penerimaan dan stigma yang bervariasi di berbagai masyarakat. Laporan ini menekankan pentingnya mengatasi faktor-faktor budaya dan sosial ini untuk mempromosikan pandangan masturbasi yang lebih inklusif dan menerima. Pandangan historis dan budaya telah berevolusi, mencerminkan perubahan masyarakat yang lebih luas, dan penelitian kontemporer terus membantah kesalahpahaman yang telah lama dipegang. Implikasi dari penelitian ini menyoroti perlunya diskusi terbuka dan pendidikan tentang masturbasi untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih sehat tentang seksualitas manusia. Penelitian di masa depan harus fokus pada eksplorasi lebih lanjut tentang manfaat psikologis dan fisiologis masturbasi, serta faktor-faktor budaya dan sosial yang membentuk sikap terhadapnya. Dengan demikian, kita dapat bekerja untuk mengurangi stigma dan mempromosikan pandangan masturbasi yang lebih inklusif dan menerima sebagai aspek seksualitas manusia yang normal dan sehat (Carvalheira & Leal, 2013; Stolberg, 2000).
Referensi
- https://menshealthclinic.com/ca/6-common-misconceptions-about-masturbation/
- https://www.researchgate.net/publication/373796997_The_Medical_Sociological_Psychological_Religious_and_Spiritual_Aspects_of_Masturbation_and_a_Potential_Approach_to_Therapy_Based_on_Catholic_Teaching_and_Virtues_Psychology
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/married-and-still-doing-it/201709/6-facts-and-myths-about-masturbation
- https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11323945/
- https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9255456/
- https://sk.sagepub.com/ency/edvol/the-sage-encyclopedia-of-psychology-and-gender/chpt/masturbation
- https://www.cambridge.org/core/journals/psychological-medicine/article/masturbatory-insanity-the-history-of-an-idea-revisited/6AD148436974F5E4313F5F0D091B546A
- https://www.communicatingpsychologicalscience.com/blog/masturbati