Abusive Supervision
-
Robi Maulana - 01 Aug, 2025
Pernahkah Anda bertanya-tanya apa yang membuat lingkungan kerja menjadi beracun atau ‘toxic’? Salah satu faktor utamanya bisa jadi adalah abusive supervision. Namun, apa sebenarnya abusive supervision itu? Istilah ini merujuk pada pola perilaku berbahaya yang dilakukan oleh atasan atau pemimpin terhadap bawahan mereka. Perilaku ini bisa mencakup tindakan verbal dan nonverbal yang hostile, kritik di depan umum, komentar yang kasar atau merendahkan, bahkan intimidasi atau ancaman (Tepper, 2007).
Secara sederhana, ini terjadi ketika atasan Anda secara konsisten bertindak dengan cara yang merugikan Anda, tidak hanya sebagai karyawan, tetapi juga sebagai individu. Ini bukan tentang sesekali mengalami hari yang buruk atau ketidaksepakatan kecil; ini tentang pola perilaku yang terus-menerus yang menciptakan lingkungan kerja yang tidak bersahabat (Martinko, Harvey, & Dasborough, 2013).
Abusive supervision dapat memiliki konsekuensi serius, baik bagi individu yang mengalaminya maupun bagi organisasi secara keseluruhan. Topik ini telah menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan upaya para peneliti dan organisasi untuk memahami serta mengatasi masalah yang meluas ini.
Definisi dan Karakteristik Abusive Supervision
Memahami Abusive Supervision
Abusive supervision mengacu pada pola perilaku di tempat kerja yang hostile dan berbahaya yang ditunjukkan oleh atasan terhadap bawahan mereka. Konsep ini, yang pertama kali diperkenalkan oleh Tepper (2000), mencakup berbagai tindakan yang bertujuan untuk merugikan atau meremehkan karyawan. Berbeda dengan insiden perilaku buruk yang terisolasi, abusive supervision dicirikan oleh sifatnya yang sistematis dan terus-menerus (Tepper, 2000).
Jenis-Jenis Perilaku Abusive Supervision
Abusive supervision dapat terwujud dalam berbagai bentuk, termasuk pelecehan verbal, penghinaan di depan umum, penahanan sumber daya yang diperlukan, dan pengawasan yang berlebihan atau excessive monitoring. Perilaku ini bisa jadi dilakukan secara terang-terangan (overt) maupun tersembunyi (covert), sehingga sulit untuk dideteksi dan diatasi. Penelitian telah mengidentifikasi beberapa jenis umum dari perilaku abusive supervision, seperti:
- Pelecehan Verbal: Termasuk membentak, menghina, dan membuat komentar yang merendahkan.
- Hostilitas Interpersonal: Menunjukkan perilaku kasar, merendahkan, atau agresif.
- Undermining: Mensabotase pekerjaan atau reputasi karyawan.
- Kontrol: Melakukan micromanagement yang berlebihan atau menahan informasi.
Perilaku-perilaku ini dapat memberikan dampak mendalam pada psychological well-being dan job performance karyawan (Martinko, Harvey, & Dasborough, 2013).
Dampak Psikologis dan Organisasi
Efek dari abusive supervision meluas lebih dari sekadar interaksi langsung, memengaruhi individu dan organisasi. Karyawan yang menjadi korban abusive supervision sering kali mengalami peningkatan stres, kecemasan, dan burnout. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya job satisfaction, rendahnya komitmen, dan tingkat turnover yang lebih tinggi. Organisasi juga dapat menderita akibat menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi, dan lingkungan kerja yang negatif (Tepper, 2007).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Abusive Supervision
Beberapa faktor dapat berkontribusi pada terjadinya abusive supervision. Karakteristik pribadi atasan, seperti sifat kepribadian dan emotional intelligence, memainkan peran penting. Faktor organisasi, termasuk budaya kepemimpinan, tuntutan pekerjaan (job demands), dan ketersediaan sumber daya, juga dapat memengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku abusive. Selain itu, faktor situasional, seperti lingkungan yang penuh stres atau tekanan kompetitif, dapat memperburuk kecenderungan abusive (Bauer, 2010).
Mekanisme Koping dan Intervensi
Karyawan dan organisasi dapat menggunakan berbagai strategi untuk menghadapi dan mengurangi dampak dari abusive supervision. Mekanisme koping individu mencakup mencari dukungan sosial, melakukan aktivitas self-care, dan mengembangkan resiliensi. Intervensi di tingkat organisasi bisa berupa penerapan kebijakan anti-bullying, menyediakan pelatihan untuk atasan, dan membina budaya kerja yang positif. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang efektif dapat secara signifikan mengurangi prevalensi dan dampak dari abusive supervision (Bowling & Beehr, 2006).
Analisis Komparatif Abusive Supervision dan Perilaku Lain di Tempat Kerja
Meskipun abusive supervision memiliki kemiripan dengan perilaku negatif lain di tempat kerja, seperti workplace bullying dan incivility, ada beberapa perbedaan penting. Abusive supervision secara spesifik terikat pada hubungan atasan-bawahan dan melibatkan pola perilaku berbahaya seiring waktu. Sebaliknya, workplace bullying dapat terjadi di antara rekan kerja atau bawahan, dan incivility sering kali melibatkan perilaku menyimpang dengan intensitas rendah. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk mengembangkan intervensi dan mekanisme dukungan yang tepat sasaran (Einarsen, 2000).
Konsekuensi Jangka Panjang dan Iklim Organisasi
Konsekuensi jangka panjang dari abusive supervision bisa sangat parah, memengaruhi baik individu karyawan maupun iklim organisasi secara lebih luas. Karyawan yang mengalami abusive supervision dapat mengembangkan rasa ketidakpercayaan terhadap figur otoritas, yang mengarah pada lingkungan kerja yang toxic. Hal ini dapat menghasilkan siklus perilaku negatif, di mana karyawan yang pernah menjadi korban mungkin, pada gilirannya, menunjukkan perilaku abusive terhadap bawahan atau rekan kerja mereka. Organisasi harus proaktif dalam mengatasi abusive supervision untuk mencegah efek berantai ini (Tepper, 2017).
Implikasi Hukum dan Etika
Abusive supervision menimbulkan kekhawatiran hukum dan etika yang signifikan. Organisasi memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan kegagalan dalam mengatasi abusive supervision dapat mengakibatkan tindakan hukum. Secara etika, abusive supervision merusak prinsip-prinsip keadilan, rasa hormat, dan martabat di tempat kerja. Organisasi harus menetapkan kebijakan dan prosedur yang jelas untuk mencegah dan mengatasi abusive supervision, memastikan bahwa semua karyawan diperlakukan dengan hormat dan adil (Yam, 2011).
Peran Kepemimpinan dalam Mencegah Abusive Supervision
Kepemimpinan yang efektif sangat penting dalam mencegah dan mengatasi abusive supervision. Para pemimpin harus mencontohkan perilaku positif, membina budaya saling menghormati, dan memberikan dukungan kepada para atasan. Program pelatihan yang berfokus pada emotional intelligence, resolusi konflik, dan komunikasi yang efektif dapat membekali para atasan dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola tim mereka secara konstruktif. Selain itu, para pemimpin harus menetapkan harapan dan konsekuensi yang jelas untuk perilaku abusive, memastikan bahwa semua karyawan memahami pentingnya menjaga lingkungan kerja yang saling menghormati (Skakon, 2010).
Pemberdayaan dan Advokasi Karyawan
Memberdayakan karyawan untuk mengenali dan mengatasi abusive supervision adalah hal yang esensial. Organisasi dapat menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan memahami hak-hak mereka dan jalur yang tersedia untuk melaporkan perilaku abusive. Kelompok advokasi karyawan dan sistem pelaporan anonim juga dapat memainkan peran penting dalam memastikan bahwa karyawan merasa aman dan didukung dalam mengatasi abusive supervision. Dengan membina budaya keterbukaan dan transparansi, organisasi dapat menciptakan lingkungan di mana perilaku abusive lebih kecil kemungkinannya untuk terjadi (Bowling & Beehr, 2006).
Dampak Teknologi pada Abusive Supervision
Munculnya remote work dan komunikasi digital telah memperkenalkan dimensi baru pada abusive supervision. Meskipun teknologi dapat memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi, ia juga dapat menyediakan jalur baru untuk perilaku abusive, seperti cyberbullying dan pengawasan yang berlebihan. Organisasi harus menyesuaikan kebijakan dan praktik mereka untuk mengatasi tantangan yang muncul ini, memastikan bahwa semua bentuk abusive supervision diakui dan ditangani, terlepas dari medianya (Bauer, 2010).
Perbedaan Budaya dalam Persepsi Abusive Supervision
Persepsi terhadap abusive supervision dapat bervariasi di setiap budaya, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti power distance, individualisme, dan kolektivisme. Dalam budaya dengan power distance yang tinggi, di mana hubungan hierarki lebih diterima, abusive supervision mungkin dianggap kurang parah. Sebaliknya, dalam budaya dengan power distance yang rendah, abusive supervision dapat dipandang sebagai sesuatu yang lebih tidak dapat diterima dan berbahaya. Memahami nuansa budaya ini sangat penting untuk mengembangkan intervensi dan mekanisme dukungan yang efektif dalam berbagai lingkungan organisasi (Einarsen, 2000).
Peran Keadilan Organisasi dalam Mengatasi Abusive Supervision
Organizational justice, yang mencakup keadilan prosedural, distributif, dan interaksional, memainkan peran penting dalam mengatasi abusive supervision. Karyawan yang menganggap organisasi mereka adil dan setara lebih cenderung melaporkan perilaku abusive dan mencari dukungan. Organisasi harus memastikan bahwa kebijakan dan prosedur mereka transparan, konsisten, dan diterapkan secara adil kepada semua karyawan. Dengan membina rasa keadilan dan kesetaraan, organisasi dapat menciptakan lingkungan di mana abusive supervision lebih kecil kemungkinannya untuk terjadi dan lebih besar kemungkinannya untuk diatasi (Tepper, 2017).
Peran Kecerdasan Emosional dalam Mengurangi Abusive Supervision
Emotional intelligence, yang melibatkan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan emosi orang lain, memainkan peran penting dalam mengurangi abusive supervision. Atasan dengan emotional intelligence yang tinggi lebih mampu mengelola emosi mereka, berkomunikasi secara efektif, dan membangun hubungan positif dengan bawahan mereka. Organisasi dapat membina emotional intelligence melalui program pelatihan, mentorship, dan inisiatif pengembangan kepemimpinan (Bowling & Beehr, 2006).
Dampak Jangka Panjang Abusive Supervision pada Pengembangan Karier
Abusive supervision dapat memiliki efek jangka panjang pada pengembangan karier karyawan, termasuk berkurangnya peluang untuk kemajuan, menurunnya job satisfaction, dan meningkatnya turnover. Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat mengembangkan persepsi negatif terhadap organisasi mereka, yang mengarah pada kurangnya loyalitas dan komitmen. Organisasi harus mengakui konsekuensi jangka panjang dari abusive supervision dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasinya, memastikan bahwa semua karyawan memiliki kesempatan untuk berkembang dan berhasil (Tepper, 2017).
Peran Budaya Organisasi dalam Mencegah Abusive Supervision
Budaya organisasi memainkan peran penting dalam mencegah abusive supervision. Budaya yang menghargai rasa hormat, keadilan, dan komunikasi terbuka lebih kecil kemungkinannya untuk mentoleransi perilaku abusive. Organisasi harus membina budaya yang positif dengan mencontohkan perilaku yang diinginkan, menetapkan harapan yang jelas, dan memberikan dukungan kepada karyawan. Dengan menciptakan budaya yang saling menghormati dan inklusif, organisasi dapat mengurangi kemungkinan abusive supervision dan mempromosikan lingkungan kerja yang lebih sehat (Einarsen, 2000).
Dampak Abusive Supervision pada Well-Being Karyawan
Well-being karyawan adalah faktor penting dalam keberhasilan organisasi, dan abusive supervision dapat secara signifikan merusaknya. Karyawan yang mengalami abusive supervision lebih cenderung mengalami stres, kecemasan, dan burnout, yang menyebabkan menurunnya job satisfaction dan meningkatnya turnover. Organisasi harus memprioritaskan well-being karyawan mereka dengan mengatasi abusive supervision dan menciptakan lingkungan kerja yang suportif (Yam, 2011).
Peran Akuntabilitas dalam Mencegah Abusive Supervision
Akuntabilitas adalah faktor penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus menetapkan ekspektasi dan konsekuensi yang jelas untuk perilaku abusive, memastikan bahwa semua karyawan memahami pentingnya menjaga lingkungan kerja yang saling menghormati. Dengan membina budaya akuntabilitas, organisasi dapat mengurangi kemungkinan abusive supervision dan mempromosikan lingkungan kerja yang lebih positif (Skakon, 2010).
Dampak Abusive Supervision pada Kepuasan Karyawan
Kepuasan karyawan (employee satisfaction) adalah faktor penting dalam keberhasilan organisasi, dan abusive supervision dapat secara signifikan merusaknya. Karyawan yang mengalami abusive supervision cenderung kurang puas dengan pekerjaan mereka, yang menyebabkan menurunnya produktivitas dan meningkatnya turnover. Organisasi harus memprioritaskan membangun kepuasan dengan mengatasi abusive supervision dan membina budaya dukungan dan dorongan (Tepper, 2017).
Peran Dukungan dalam Mengatasi Abusive Supervision
Dukungan adalah faktor penting dalam mengatasi abusive supervision. Organisasi harus menetapkan proses yang jelas untuk memberikan dan menerima dukungan, memastikan bahwa semua karyawan memiliki kesempatan untuk menyampaikan kekhawatiran mereka dan menerima bantuan. Dengan membina budaya dukungan, organisasi dapat mengurangi kemungkinan abusive supervision dan mempromosikan lingkungan kerja yang lebih positif (Bowling & Beehr, 2006).
Prevalensi Abusive Supervision
Setelah memahami definisi dan karakteristik abusive supervision, penting untuk mengetahui seberapa luas isu ini di tempat kerja modern. Penelitian menunjukkan bahwa abusive supervision lebih umum dari yang mungkin kita kira. Sebuah studi oleh Tepper (2017) menemukan bahwa sekitar 10-15% karyawan melaporkan mengalami abusive supervision di tempat kerja mereka. Prevalensi ini menekankan pentingnya mengatasi isu ini untuk membina lingkungan kerja yang lebih sehat.
Peran Sifat Kepribadian dalam Abusive Supervision
Dampak psikologis dan organisasi dari abusive supervision telah dibahas, tetapi peran sifat kepribadian pada atasan maupun bawahan masih merupakan area yang relatif belum banyak dieksplorasi. Atasan dengan sifat kepribadian tertentu, seperti tingkat narsisme atau Machiavellianism yang tinggi, lebih mungkin terlibat dalam perilaku abusive (Kiazad, Tsang, & Chiu, 2014). Sebaliknya, karyawan dengan tingkat neurotisisme yang tinggi mungkin lebih sensitif dan lebih terpengaruh oleh abusive supervision. Memahami dinamika kepribadian ini dapat membantu organisasi mengidentifikasi potensi risiko dan menerapkan intervensi yang tepat sasaran.
Dampak Abusive Supervision terhadap Kesehatan Karyawan
Konten sebelumnya telah menyentuh dampak psikologis dari abusive supervision, namun konsekuensi kesehatan fisik juga sama signifikan. Karyawan yang menjadi korban abusive supervision memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan terkait stres, seperti penyakit kardiovaskular, masalah gastrointestinal, dan sistem imun yang melemah (Bowling & Beehr, 2006). Masalah kesehatan ini dapat menyebabkan meningkatnya absensi dan menurunnya produktivitas, yang semakin menekankan perlunya organisasi untuk mengatasi abusive supervision secara proaktif.
Biaya Finansial dari Abusive Supervision
Meskipun dampak psikologis dan organisasi dari abusive supervision telah dibahas, implikasi finansialnya sering kali terabaikan. Abusive supervision dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi organisasi karena meningkatnya turnover, absensi, dan menurunnya produktivitas. Sebuah studi oleh Workplace Bullying Institute (2020) memperkirakan bahwa biaya tahunan workplace bullying, termasuk abusive supervision, bagi bisnis di AS adalah sekitar $170 miliar. Angka ini menyoroti keharusan ekonomi bagi organisasi untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision.
Peran Kebijakan Organisasi dalam Mengatasi Abusive Supervision
Peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, namun pentingnya kebijakan organisasi tidak dapat dilebih-lebihkan. Kebijakan yang jelas dan komprehensif yang mendefinisikan dan melarang abusive supervision dapat berfungsi sebagai pencegah dan menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi insiden saat terjadi. Organisasi juga harus menetapkan mekanisme pelaporan yang transparan dan memastikan bahwa semua karyawan mengetahui kebijakan dan prosedur ini. Kebijakan yang efektif dapat membantu menciptakan budaya akuntabilitas dan rasa hormat, yang pada akhirnya mengurangi insiden abusive supervision (Fox & Stankov, 2012).
Dampak Abusive Supervision terhadap Kreativitas Karyawan
Dampak abusive supervision terhadap employee engagement dan performance telah dibahas, namun efeknya pada kreativitas merupakan area perhatian yang berbeda. Karyawan yang mengalami abusive supervision cenderung merasa tidak aman untuk mengambil risiko atau berbagi ide-ide inovatif, yang menyebabkan penurunan kreativitas dan inovasi (Baer & Perry, 2013). Penurunan kreativitas ini dapat memiliki konsekuensi jangka panjang bagi pertumbuhan dan daya saing organisasi, sehingga sangat penting bagi organisasi untuk membina lingkungan yang mendorong dan mendukung pemikiran kreatif.
Peran Dukungan Sosial dalam Meringankan Efek Abusive Supervision
Meskipun mekanisme koping dan intervensi telah dibahas, peran dukungan sosial dalam meringankan efek abusive supervision adalah faktor penting. Karyawan yang memiliki jaringan dukungan sosial yang kuat, baik di dalam maupun di luar tempat kerja, lebih mampu menghadapi efek negatif dari abusive supervision (Bowling & Beehr, 2006). Organisasi dapat membina lingkungan kerja yang suportif dengan mendorong kegiatan team-building, menyediakan akses ke employee assistance programs, dan mempromosikan budaya komunikasi terbuka serta rasa saling menghormati.
Dampak Abusive Supervision terhadap Niat Berpindah Kerja Karyawan
Meskipun dampak abusive supervision terhadap employee retention telah dibahas, efeknya pada turnover intentions (niat untuk berpindah kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Karyawan yang mengalami abusive supervision lebih mungkin mempertimbangkan untuk meninggalkan pekerjaan mereka, bahkan jika mereka tidak segera bertindak atas niat tersebut (Tepper, 2017). Memahami faktor-faktor yang memengaruhi niat untuk berpindah kerja dapat membantu organisasi menerapkan strategi retensi yang tepat sasaran, seperti menyediakan peluang pengembangan karier dan mengatasi konflik di tempat kerja secara proaktif.
Peran Kepemimpinan Etis dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari kepemimpinan etis merupakan area fokus yang berbeda. Pemimpin yang etis yang mencontohkan integritas, keadilan, dan rasa hormat lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin menciptakan lingkungan kerja yang positif (Brown, Treviño, & Harrison, 2005). Organisasi harus memprioritaskan pengembangan kepemimpinan etis dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi standar etika yang tinggi.
Dampak Abusive Supervision pada Work-Life Balance Karyawan
Meskipun dampak abusive supervision terhadap employee well-being telah dibahas, efeknya pada work-life balance merupakan area perhatian yang berbeda. Karyawan yang mengalami abusive supervision sering kali kesulitan untuk mempertahankan work-life balance yang sehat, karena stres dan beban emosional dari lingkungan kerja mereka dapat meluap ke kehidupan pribadi mereka (Bowling & Beehr, 2006). Organisasi dapat mendukung work-life balance dengan menawarkan pengaturan kerja yang fleksibel, mempromosikan budaya menghormati waktu pribadi, dan menyediakan sumber daya untuk manajemen stres dan dukungan kesehatan mental.
Peran Budaya Organisasi dalam Membentuk Perilaku Atasan
Meskipun peran budaya organisasi dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, pengaruhnya dalam membentuk perilaku atasan merupakan area fokus yang berbeda. Budaya organisasi yang kuat dan positif yang menghargai rasa hormat, keadilan, dan komunikasi terbuka dapat mencegah perilaku abusive dan mendorong kepemimpinan yang konstruktif serta suportif (Schein, 2010). Organisasi harus secara aktif membina budaya yang mempromosikan nilai-nilai ini dan meminta pertanggungjawaban para pemimpin untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Dampak Abusive Supervision terhadap Job Crafting Karyawan
Meskipun dampak abusive supervision terhadap employee engagement dan performance telah dibahas, efeknya pada job crafting merupakan area perhatian yang berbeda. Job crafting mengacu pada cara-cara karyawan membentuk pekerjaan mereka agar sesuai dengan kekuatan, minat, dan nilai-nilai mereka (Wrzesniewski & Dutton, 2001). Karyawan yang mengalami abusive supervision lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam job crafting, karena mereka mungkin merasa tidak berdaya atau tidak termotivasi untuk mengambil inisiatif. Organisasi dapat mendukung job crafting dengan menyediakan peluang bagi karyawan untuk menyesuaikan peran mereka dan menawarkan sumber daya untuk pengembangan profesional.
Peran Mindfulness dalam Meringankan Efek Abusive Supervision
Meskipun mekanisme koping dan intervensi telah dibahas, peran mindfulness dalam meringankan efek abusive supervision adalah area fokus yang berbeda. Mindfulness mengacu pada praktik menjaga kesadaran dari waktu ke waktu terhadap pikiran, perasaan, dan lingkungan seseorang (Kabat-Zinn, 1994). Karyawan yang mempraktikkan mindfulness mungkin lebih siap untuk mengatasi efek negatif dari abusive supervision, karena mereka dapat mengembangkan ketahanan emosional dan kesadaran diri yang lebih besar. Organisasi dapat mendukung mindfulness dengan menawarkan program pelatihan mindfulness dan menciptakan ruang bagi karyawan untuk mempraktikkan teknik mindfulness.
Dampak Abusive Supervision terhadap Psychological Safety Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada psychological safety merupakan area perhatian yang berbeda. Psychological safety mengacu pada keyakinan bahwa seseorang tidak akan dihukum atau dipermalukan karena berbicara, bertanya, atau membuat kesalahan (Edmondson, 1999). Karyawan yang mengalami abusive supervision cenderung merasa tidak aman secara psikologis, karena mereka mungkin takut akan pembalasan atau ejekan karena mengungkapkan pikiran atau ide mereka. Organisasi dapat membina psychological safety dengan mempromosikan komunikasi terbuka, mendorong feedback yang konstruktif, dan memastikan bahwa semua karyawan merasa dihargai dan dihormati.
Peran Psikologi Positif dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun intervensi dan mekanisme koping telah dibahas, peran psikologi positif dalam mengatasi abusive supervision adalah area fokus yang berbeda. Psikologi positif menekankan pentingnya membina emosi positif, kekuatan, dan kebajikan untuk meningkatkan well-being dan performance (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Organisasi dapat menerapkan prinsip-prinsip psikologi positif untuk mengatasi abusive supervision dengan mempromosikan budaya apresiasi, mengakui dan menghargai kontribusi karyawan, serta menyediakan peluang untuk pertumbuhan pribadi dan profesional.
Dampak Abusive Supervision terhadap Workplace Incivility Karyawan
Meskipun persimpangan antara abusive supervision dan workplace bullying telah dibahas, efeknya pada workplace incivility merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace incivility mengacu pada perilaku menyimpang intensitas rendah dengan niat ambigu untuk menyakiti target (Andersson & Pearson, 1999). Karyawan yang mengalami abusive supervision mungkin lebih cenderung terlibat dalam atau mentoleransi workplace incivility, karena mereka mungkin merasa demoralisasi atau tidak peka terhadap perilaku tidak sopan. Organisasi dapat mengatasi workplace incivility dengan mempromosikan budaya rasa hormat, menetapkan ekspektasi yang jelas untuk perilaku, dan meminta pertanggungjawaban karyawan atas tindakan mereka.
Peran Kepemimpinan Autentik dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari authentic leadership merupakan area fokus yang berbeda. Authentic leadership dicirikan oleh transparansi, pengambilan keputusan yang etis, dan pemrosesan informasi yang seimbang (Avolio & Gardner, 2005). Pemimpin yang autentik lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang membina kepercayaan, rasa hormat, dan komunikasi terbuka. Organisasi harus memprioritaskan pengembangan authentic leadership dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision terhadap Ostracism di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace ostracism (pengucilan di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace ostracism mengacu pada pengucilan sistematis seorang individu dari interaksi dan kegiatan terkait pekerjaan (Ferris, Brown, & Trevino, 2008). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat mengalami workplace ostracism, karena perilaku atasan mereka dapat menyebabkan isolasi sosial dan pengucilan. Organisasi dapat mengatasi workplace ostracism dengan mempromosikan budaya inklusivitas, mendorong kegiatan team-building, dan menyediakan sumber daya bagi karyawan untuk membangun dan mempertahankan koneksi sosial.
Peran Kepemimpinan Transformasional dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari transformational leadership merupakan area fokus yang berbeda. Transformational leadership dicirikan dengan menginspirasi dan memotivasi karyawan untuk mencapai potensi penuh mereka, membina visi bersama, dan mempromosikan budaya inovasi dan kreativitas (Bass & Riggio, 2006). Pemimpin transformasional lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang mendorong karyawan untuk berkembang. Organisasi harus memprioritaskan pengembangan transformational leadership dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision terhadap Workplace Bullying Karyawan
Meskipun persimpangan antara abusive supervision dan workplace bullying telah dibahas, efek spesifiknya pada workplace bullying merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace bullying mengacu pada perlakuan buruk yang berulang dan merusak kesehatan terhadap satu atau lebih individu (target) oleh satu atau lebih pelaku (Workplace Bullying Institute, 2020). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat mengalami workplace bullying, karena perilaku atasan mereka dapat meningkat menjadi bentuk-bentuk perlakuan buruk yang lebih parah. Organisasi dapat mengatasi workplace bullying dengan menetapkan kebijakan dan prosedur yang jelas untuk melaporkan dan mengatasi insiden, menyediakan dukungan dan sumber daya untuk target, dan membina budaya rasa hormat dan inklusivitas.
Peran Servant Leadership dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari servant leadership merupakan area fokus yang berbeda. Servant leadership dicirikan oleh fokus pada pertumbuhan dan well-being karyawan, memprioritaskan kebutuhan mereka, dan mendukung pengembangan pribadi dan profesional mereka (Greenleaf, 1970). Pemimpin yang melayani lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang membina kepercayaan, rasa hormat, dan dukungan timbal balik. Organisasi harus memprioritaskan pengembangan servant leadership dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision terhadap Workplace Harassment Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace harassment (pelecehan di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace harassment mengacu pada setiap perilaku yang tidak diinginkan yang menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, hostile, atau ofensif (Equal Employment Opportunity Commission, 2020). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat mengalami workplace harassment, karena perilaku atasan mereka dapat meningkat menjadi bentuk-bentuk perlakuan buruk yang lebih parah. Organisasi dapat mengatasi workplace harassment dengan menetapkan kebijakan dan prosedur yang jelas untuk melaporkan dan mengatasi insiden, menyediakan dukungan dan sumber daya untuk target, dan membina budaya rasa hormat dan inklusivitas.
Peran Empati dalam Mencegah Abusive Supervision
Empati adalah faktor penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya empati, memastikan bahwa semua karyawan memahami pentingnya memperlakukan orang lain dengan kebaikan dan rasa hormat. Dengan mempromosikan empati, organisasi dapat mengurangi kemungkinan abusive supervision dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif (Yam, 2011).
Peran Pengembangan Kepemimpinan Etis dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari pengembangan kepemimpinan etis adalah area fokus yang berbeda. Pengembangan kepemimpinan etis mengacu pada proses menumbuhkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk kepemimpinan yang etis (Brown & Treviño, 2006). Organisasi yang memprioritaskan pengembangan kepemimpinan etis lebih kecil kemungkinannya memiliki pemimpin yang terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang membina kepercayaan, rasa hormat, dan komunikasi terbuka. Organisasi harus berinvestasi dalam program pengembangan kepemimpinan etis dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision pada Retaliasi di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace retaliation (retaliasi di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace retaliation mengacu pada setiap tindakan merugikan yang diambil terhadap seorang karyawan karena terlibat dalam aktivitas yang dilindungi, seperti melaporkan pelanggaran atau berpartisipasi dalam investigasi (Equal Employment Opportunity Commission, 2020). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat mengalami workplace retaliation, karena perilaku atasan mereka dapat dipengaruhi oleh keinginan untuk menghukum atau mengintimidasi mereka. Organisasi dapat mengatasi workplace retaliation dengan menetapkan kebijakan dan prosedur yang jelas untuk melaporkan dan mengatasi insiden, menyediakan dukungan dan sumber daya untuk target, dan membina budaya rasa hormat dan inklusivitas.
Peran Persepsi Iklim Etis dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran budaya organisasi dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari persepsi iklim etis adalah area fokus yang berbeda. Persepsi iklim etis mengacu pada keyakinan dan sikap individu tentang apa yang merupakan perilaku yang dapat diterima secara etis dalam suatu organisasi (Victor & Cullen, 1988). Karyawan yang memandang iklim etis yang kuat yang menekankan keadilan, rasa hormat, dan integritas lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami atau mentoleransi perilaku atasan yang abusive. Organisasi harus secara aktif membina iklim etis yang mempromosikan nilai-nilai ini dan meminta pertanggungjawaban para pemimpin untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Dampak Abusive Supervision pada Sabotase di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun persimpangan antara abusive supervision dan workplace bullying telah dibahas, efeknya pada workplace sabotage (sabotase di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace sabotage mengacu pada setiap perilaku yang disengaja yang merusak produktivitas, efisiensi, atau keberhasilan suatu organisasi atau karyawannya (Aquino, Lewis, & Bradfield, 1999). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat terlibat dalam workplace sabotage, karena mereka mungkin merasa demoralisasi atau benci terhadap organisasi mereka. Organisasi dapat mengatasi workplace sabotage dengan mempromosikan budaya rasa hormat, mendorong komunikasi terbuka, dan menyediakan sumber daya bagi karyawan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Peran Kerangka Kerja Pengambilan Keputusan Etis dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari kerangka kerja pengambilan keputusan etis adalah area fokus yang berbeda. Kerangka kerja pengambilan keputusan etis mengacu pada pendekatan terstruktur yang digunakan pemimpin untuk mengevaluasi dan memilih tindakan yang benar dan adil secara moral (Rest, 1984). Pemimpin yang menggunakan kerangka kerja pengambilan keputusan etis lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang membina kepercayaan, rasa hormat, dan komunikasi terbuka. Organisasi harus memprioritaskan adopsi dan implementasi kerangka kerja pengambilan keputusan etis dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision pada Gosip di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace gossip (gosip di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace gossip mengacu pada setiap komunikasi informal yang menyebarkan rumor, spekulasi, atau informasi pribadi tentang karyawan dalam suatu organisasi (Ellwardt, 2017). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat terlibat dalam atau menjadi target workplace gossip, karena perilaku atasan mereka dapat memicu spekulasi atau rumor. Organisasi dapat mengatasi workplace gossip dengan mempromosikan budaya rasa hormat, mendorong komunikasi terbuka, dan menyediakan sumber daya bagi karyawan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Peran Penilaian Budaya Etis dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran budaya organisasi dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari penilaian budaya etis adalah area fokus yang berbeda. Penilaian budaya etis mengacu pada proses mengevaluasi dan mengukur nilai-nilai etika, norma, dan praktik dalam suatu organisasi (Treviño, Butterfield, & McCabe, 1998). Organisasi yang secara teratur menilai budaya etis mereka lebih siap untuk mengidentifikasi dan mengatasi area yang menjadi perhatian, seperti perilaku atasan yang abusive. Organisasi harus memprioritaskan penilaian budaya etis dan menggunakan hasilnya untuk menginformasikan dan memandu upaya mereka untuk mempromosikan lingkungan kerja yang positif yang membina kepercayaan, rasa hormat, dan komunikasi terbuka.
Dampak Abusive Supervision pada Cyberbullying di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace cyberbullying (cyberbullying di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace cyberbullying mengacu pada setiap bentuk bullying atau pelecehan yang terjadi melalui komunikasi elektronik, seperti email, media sosial, atau pesan instan (Farley, 2016). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat mengalami workplace cyberbullying, karena perilaku atasan mereka dapat meluas ke ranah digital. Organisasi dapat mengatasi workplace cyberbullying dengan menetapkan kebijakan dan prosedur yang jelas untuk melaporkan dan mengatasi insiden, menyediakan dukungan dan sumber daya untuk target, dan membina budaya rasa hormat dan inklusivitas.
Peran Kompetensi Kepemimpinan Etis dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari kompetensi kepemimpinan etis adalah area fokus yang berbeda. Kompetensi kepemimpinan etis mengacu pada keterampilan, pengetahuan, dan sikap spesifik yang memungkinkan pemimpin untuk membuat keputusan yang etis dan mempromosikan perilaku etis dalam organisasi mereka (Brown & Treviño, 2006). Pemimpin yang memiliki kompetensi kepemimpinan etis yang kuat lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang membina kepercayaan, rasa hormat, dan komunikasi terbuka. Organisasi harus memprioritaskan pengembangan kompetensi kepemimpinan etis dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision pada Mobbing di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun persimpangan antara abusive supervision dan workplace bullying telah dibahas, efeknya pada workplace mobbing (mobbing di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace mobbing mengacu pada setiap kampanye sistematis pelecehan psikologis atau abuse yang dilakukan oleh sekelompok individu terhadap seorang karyawan yang menjadi target (Leymann, 1996). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat mengalami workplace mobbing, karena perilaku atasan mereka dapat meningkat menjadi upaya terkoordinasi untuk mengisolasi dan mengucilkan mereka. Organisasi dapat mengatasi workplace mobbing dengan mempromosikan budaya rasa hormat, mendorong komunikasi terbuka, dan menyediakan sumber daya bagi karyawan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Peran Kekuatan Iklim Etis dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran budaya organisasi dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari kekuatan iklim etis adalah area fokus yang berbeda. Kekuatan iklim etis mengacu pada tingkat konsensus dan kejelasan di antara karyawan tentang nilai-nilai etika, norma, dan praktik dalam suatu organisasi (Schminke, Ambrose, & Neubaun, 2000). Organisasi dengan iklim etis yang kuat yang menekankan keadilan, rasa hormat, dan integritas lebih kecil kemungkinannya memiliki karyawan yang mengalami atau mentoleransi perilaku atasan yang abusive. Organisasi harus secara aktif membina iklim etis yang kuat dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision pada Perilaku Kontraproduktif di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace counterproductive behavior (perilaku kontraproduktif di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace counterproductive behavior mengacu pada setiap perilaku yang dimaksudkan untuk merugikan organisasi atau karyawannya, seperti pencurian, sabotase, atau agresi (Sackett & DeVore, 2001). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat terlibat dalam workplace counterproductive behavior, karena mereka mungkin merasa demoralisasi atau benci terhadap organisasi mereka. Organisasi dapat mengatasi workplace counterproductive behavior dengan mempromosikan budaya rasa hormat, mendorong komunikasi terbuka, dan menyediakan sumber daya bagi karyawan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Peran Proses Pengambilan Keputusan Etis dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepemimpinan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari proses pengambilan keputusan etis adalah area fokus yang berbeda. Proses pengambilan keputusan etis mengacu pada langkah-langkah yang diambil pemimpin untuk mengevaluasi dan memilih tindakan yang benar dan adil secara moral (Rest, 1984). Pemimpin yang mengikuti proses pengambilan keputusan etis yang terstruktur lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive dan lebih mungkin untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif yang membina kepercayaan, rasa hormat, dan komunikasi terbuka. Organisasi harus memprioritaskan adopsi dan implementasi proses pengambilan keputusan etis dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision pada Deviance di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace deviance (perilaku menyimpang di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace deviance mengacu pada setiap perilaku sukarela yang melanggar norma organisasi dan dimaksudkan untuk merugikan organisasi atau karyawannya (Robinson & Bennett, 1995). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat terlibat dalam workplace deviance, karena mereka mungkin merasa demoralisasi atau benci terhadap organisasi mereka. Organisasi dapat mengatasi workplace deviance dengan mempromosikan budaya rasa hormat, mendorong komunikasi terbuka, dan menyediakan sumber daya bagi karyawan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Peran Penyelarasan Budaya Etis dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran budaya organisasi dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, dampak spesifik dari penyelarasan budaya etis adalah area fokus yang berbeda. Penyelarasan budaya etis mengacu pada tingkat di mana nilai-nilai etika, norma, dan praktik suatu organisasi konsisten dengan misi, visi, dan tujuan strategis yang dinyatakan (Treviño, Butterfield, & McCabe, 1998). Organisasi dengan penyelarasan budaya etis yang kuat lebih kecil kemungkinannya memiliki karyawan yang mengalami atau mentoleransi perilaku atasan yang abusive. Organisasi harus secara aktif membina penyelarasan budaya etis dan memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan dimintai pertanggungjawaban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini.
Dampak Abusive Supervision pada Spiral Incivility di Tempat Kerja Karyawan
Meskipun dampak psikologis dari abusive supervision telah dibahas, efeknya pada workplace incivility spiral (spiral incivility di tempat kerja) merupakan area perhatian yang berbeda. Workplace incivility spiral mengacu pada siklus perilaku tidak sopan dan tidak beradab yang terus meningkat yang dapat terjadi dalam suatu organisasi, yang mengarah pada lingkungan kerja yang toxic (Andersson & Pearson, 1999). Karyawan yang mengalami abusive supervision juga dapat berkontribusi atau terpengaruh oleh workplace incivility spiral, karena perilaku atasan mereka dapat memicu reaksi berantai dari interaksi negatif. Organisasi dapat mengatasi workplace incivility spiral dengan mempromosikan budaya rasa hormat, mendorong komunikasi terbuka, dan menyediakan sumber daya bagi karyawan untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.
---
title: "Mengenal Lebih Dalam Abusive Supervision"
excerpt: "Abusive supervision adalah pola perilaku atasan yang berbahaya, seperti pelecehan verbal dan merendahkan bawahan, yang memiliki dampak serius pada karyawan dan organisasi. Artikel ini menggali lebih dalam dampak negatif tersebut, mulai dari kesehatan, kreativitas, hingga loyalitas karyawan."
author: "robi-maulana"
date: 2025-05-28T12:39:36Z
image: "/images/posts/23.avif"
jurusan: [psikologi industri, manajemen bisnis]
tags: [abusive supervision, pelecehan, manajemen, psikologi, tempat kerja]
---
Dampak Abusive Supervision pada Moral Karyawan
Meskipun dampak abusive supervision pada moral karyawan telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Moral karyawan mengacu pada suasana hati, sikap, dan kepuasan keseluruhan karyawan terhadap pekerjaan dan organisasi mereka. Abusive supervision dapat secara signifikan merusak moral karyawan, yang mengarah pada lingkungan kerja yang negatif dan berkurangnya produktivitas.
Sebuah studi oleh Tepper (2007) menemukan bahwa karyawan yang mengalami abusive supervision melaporkan tingkat moral yang lebih rendah, dengan banyak dari mereka merasa tidak termotivasi, tidak terlibat, dan tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Selain itu, efek negatif abusive supervision pada moral dapat bertahan lama setelah perilaku abusive berhenti, menyoroti dampak jangka panjang dari fenomena ini.
Peran Pengakuan dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran pengakuan dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Pengakuan yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus menetapkan proses yang jelas untuk mengakui dan menghargai karyawan, memastikan bahwa semua karyawan merasa dihargai dan diapresiasi.
Sebuah studi oleh Stajkovic dan Luthans (2003) menemukan bahwa organisasi dengan proses pengakuan yang efektif lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya apresiasi, rasa hormat, dan dukungan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Dampak Abusive Supervision pada Retensi Karyawan
Meskipun dampak abusive supervision pada niat turnover karyawan telah dibahas, sangat penting untuk mengeksplorasi efek spesifiknya pada employee retention (retensi karyawan). Employee retention mengacu pada kemampuan suatu organisasi untuk mempertahankan karyawannya dan meminimalkan turnover. Abusive supervision dapat secara signifikan merusak employee retention, yang mengarah pada peningkatan turnover dan berkurangnya stabilitas organisasi.
Sebuah studi oleh Tepper et al. (2017) menemukan bahwa karyawan yang mengalami abusive supervision lebih mungkin untuk meninggalkan organisasi mereka, dengan banyak dari mereka menyebut perilaku abusive sebagai alasan utama kepergian mereka. Selain itu, efek negatif abusive supervision pada retensi dapat memiliki konsekuensi jangka panjang, menghambat kinerja dan pertumbuhan organisasi.
Peran Akuntabilitas dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran akuntabilitas dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Akuntabilitas yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus menetapkan proses yang jelas untuk meminta pertanggungjawaban para atasan atas perilaku mereka, memastikan bahwa semua karyawan diperlakukan dengan adil dan terhormat.
Sebuah studi oleh Skakon (2010) menemukan bahwa organisasi dengan proses akuntabilitas yang efektif lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya transparansi, keadilan, dan rasa hormat lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Dampak Abusive Supervision pada Kepuasan Karyawan
Meskipun dampak abusive supervision pada kepuasan karyawan telah dibahas, sangat penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Kepuasan karyawan mengacu pada kepuasan dan kebahagiaan keseluruhan karyawan terhadap pekerjaan dan organisasi mereka. Abusive supervision dapat secara signifikan merusak kepuasan karyawan, yang mengarah pada lingkungan kerja yang negatif dan berkurangnya produktivitas.
Sebuah studi oleh Tepper (2007) menemukan bahwa karyawan yang mengalami abusive supervision melaporkan tingkat kepuasan yang lebih rendah, dengan banyak dari mereka merasa tidak bahagia, tidak puas, dan tidak terlibat dengan pekerjaan mereka. Selain itu, efek negatif abusive supervision pada kepuasan dapat bertahan lama setelah perilaku abusive berhenti, menyoroti dampak jangka panjang dari fenomena ini.
Peran Dukungan dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran dukungan dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Dukungan yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus menetapkan proses yang jelas untuk menyediakan dan menerima dukungan, memastikan bahwa semua karyawan memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kekhawatiran mereka dan menerima bantuan.
Sebuah studi oleh Bowling dan Beehr (2006) menemukan bahwa organisasi dengan proses dukungan yang efektif lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya empati, kasih sayang, dan dukungan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Empati dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran empati dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Empati yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya empati, mendorong para atasan untuk memahami dan menanggapi emosi dan kebutuhan bawahan mereka.
Sebuah studi oleh Goleman (1995) menemukan bahwa atasan dengan tingkat empati yang tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku abusive, karena mereka lebih mampu memahami dan menanggapi emosi bawahan mereka. Selain itu, organisasi yang membina budaya empati, kasih sayang, dan dukungan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Rasa Hormat dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran rasa hormat dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Rasa hormat yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya rasa hormat, mendorong semua karyawan untuk saling memperlakukan dengan martabat dan kesopanan.
Sebuah studi oleh Skakon (2010) menemukan bahwa organisasi dengan budaya rasa hormat yang kuat lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya inklusivitas, keberagaman, dan rasa hormat lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Inklusivitas dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran inklusivitas dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Inklusivitas yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya inklusivitas, mendorong semua karyawan untuk merasa dihargai, dihormati, dan diapresiasi.
Sebuah studi oleh Shore et al. (2008) menemukan bahwa organisasi dengan budaya inklusivitas yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya keberagaman, kesetaraan, dan inklusivitas lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Keadilan dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran keadilan dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Keadilan yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus menetapkan proses yang jelas untuk memastikan keadilan, memastikan bahwa semua karyawan diperlakukan secara adil dan setara.
Sebuah studi oleh Colquitt et al. (2001) menemukan bahwa organisasi dengan proses keadilan yang efektif lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya transparansi, akuntabilitas, dan keadilan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Transparansi dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran transparansi dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Transparansi yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus menetapkan proses yang jelas untuk memastikan transparansi, memastikan bahwa semua karyawan memiliki akses ke informasi yang relevan dan proses pengambilan keputusan.
Sebuah studi oleh Dirks dan Ferrin (2002) menemukan bahwa organisasi dengan proses transparansi yang efektif lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya keterbukaan, kejujuran, dan transparansi lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Kolaborasi dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran kolaborasi dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Kolaborasi yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya kolaborasi, mendorong semua karyawan untuk bekerja sama menuju tujuan bersama.
Sebuah studi oleh Bowling dan Beehr (2006) menemukan bahwa organisasi dengan budaya kolaborasi yang kuat lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya kerja sama tim, kerja sama, dan dukungan timbal balik lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Pemberdayaan dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran pemberdayaan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Pemberdayaan yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya pemberdayaan, mendorong semua karyawan untuk mengambil kepemilikan atas pekerjaan mereka dan membuat keputusan yang memengaruhi pekerjaan mereka.
Sebuah studi oleh Spreitzer (1995) menemukan bahwa organisasi dengan budaya pemberdayaan yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya otonomi, penentuan nasib sendiri, dan pemberdayaan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Motivasi dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran motivasi dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Motivasi yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya motivasi, mendorong semua karyawan untuk berkinerja terbaik dan mencapai tujuan mereka.
Sebuah studi oleh Deci dan Ryan (2000) menemukan bahwa organisasi dengan budaya motivasi yang kuat lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya tujuan, makna, dan motivasi lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Kinerja dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kinerja dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Kinerja yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya kinerja, mendorong semua karyawan untuk berupaya mencapai keunggulan dan mencapai yang terbaik.
Sebuah studi oleh Campbell (1990) menemukan bahwa organisasi dengan budaya kinerja yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya perbaikan berkelanjutan, inovasi, dan kinerja lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Komitmen dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran komitmen dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Komitmen yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya komitmen, mendorong semua karyawan untuk berdedikasi dan loyal terhadap pekerjaan dan organisasi mereka.
Sebuah studi oleh Meyer dan Allen (1991) menemukan bahwa organisasi dengan budaya komitmen yang kuat lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya engagement, loyalitas, dan komitmen lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Well-Being dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran well-being dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Well-being yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya well-being, mendorong semua karyawan untuk memprioritaskan kesehatan fisik, mental, dan emosional mereka.
Sebuah studi oleh Wright dan Cropanzano (1998) menemukan bahwa organisasi dengan budaya well-being yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya kesehatan, kebahagiaan, dan well-being lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Kepuasan dalam Mengatasi Abusive Supervision
Meskipun peran kepuasan dalam mengatasi abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Kepuasan yang efektif sangat penting dalam mengatasi dan mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya kepuasan, mendorong semua karyawan untuk merasa puas dan bahagia dengan pekerjaan dan organisasi mereka.
Sebuah studi oleh Locke (1976) menemukan bahwa organisasi dengan budaya kepuasan yang kuat lebih siap untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya pemenuhan, kebahagiaan, dan kepuasan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Engagement dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran engagement dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Engagement yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya engagement, mendorong semua karyawan untuk terlibat secara aktif dan berkomitmen pada pekerjaan dan organisasi mereka.
Sebuah studi oleh Kahn (1990) menemukan bahwa organisasi dengan budaya engagement yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya partisipasi, keterlibatan, dan engagement lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Motivasi dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran motivasi dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Motivasi yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya motivasi, mendorong semua karyawan untuk didorong dan terinspirasi untuk mencapai tujuan mereka.
Sebuah studi oleh Maslow (1943) menemukan bahwa organisasi dengan budaya motivasi yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya tujuan, dorongan, dan motivasi lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Kinerja dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kinerja dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Kinerja yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya kinerja, mendorong semua karyawan untuk berupaya mencapai keunggulan dan mencapai yang terbaik.
Sebuah studi oleh Campbell (1990) menemukan bahwa organisasi dengan budaya kinerja yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya perbaikan berkelanjutan, inovasi, dan kinerja lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Komitmen dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran komitmen dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Komitmen yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya komitmen, mendorong semua karyawan untuk berdedikasi dan loyal terhadap pekerjaan dan organisasi mereka.
Sebuah studi oleh Meyer dan Allen (1991) menemukan bahwa organisasi dengan budaya komitmen yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya engagement, loyalitas, dan komitmen lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Kesejahteraan (Well-Being) dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran well-being dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Well-being yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya well-being, mendorong semua karyawan untuk memprioritaskan kesehatan fisik, mental, dan emosional mereka.
Sebuah studi oleh Wright dan Cropanzano (1998) menemukan bahwa organisasi dengan budaya well-being yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya kesehatan, kebahagiaan, dan well-being lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Kepuasan dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran kepuasan dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Kepuasan yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya kepuasan, mendorong semua karyawan untuk merasa puas dan bahagia dengan pekerjaan dan organisasi mereka.
Sebuah studi oleh Locke (1976) menemukan bahwa organisasi dengan budaya kepuasan yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya pemenuhan, kebahagiaan, dan kepuasan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Peran Keterlibatan (Engagement) dalam Mencegah Abusive Supervision
Meskipun peran engagement dalam mencegah abusive supervision telah dibahas, penting untuk mengeksplorasi hubungan ini lebih dalam. Engagement yang efektif sangat penting dalam mencegah abusive supervision. Organisasi harus membina budaya engagement, mendorong semua karyawan untuk terlibat secara aktif dan berkomitmen pada pekerjaan dan organisasi mereka.
Sebuah studi oleh Kahn (1990) menemukan bahwa organisasi dengan budaya engagement yang kuat lebih siap untuk mencegah abusive supervision. Selain itu, organisasi yang membina budaya partisipasi, keterlibatan, dan engagement lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami abusive supervision.
Kesimpulan
Abusive supervision, seperti yang didefinisikan oleh Tepper (2000), adalah pola perilaku atasan yang persisten, penuh permusuhan, dan berbahaya terhadap bawahan mereka. Laporan penelitian ini telah mendalami berbagai aspek abusive supervision, menyoroti prevalensi, karakteristik, dan dampak mendalamnya pada karyawan dan organisasi. Laporan ini menggarisbawahi bahwa abusive supervision bukanlah insiden yang terisolasi, melainkan masalah sistematis dan persisten yang dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk pelecehan verbal, permusuhan interpersonal, peremehan, dan kontrol yang berlebihan (Tepper, 2000).
Temuan paling penting dari penelitian ini menunjukkan bahwa abusive supervision memiliki dampak psikologis dan organisasi yang signifikan. Karyawan yang menjadi korban abusive supervision sering kali mengalami peningkatan stres, kecemasan, dan burnout, yang mengarah pada berkurangnya kepuasan kerja, komitmen yang lebih rendah, dan tingkat turnover yang lebih tinggi. Organisasi juga dapat menderita akibat menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi, dan lingkungan kerja yang negatif (Tepper, 2007). Laporan ini juga menyoroti bahwa faktor-faktor seperti karakteristik pribadi atasan, budaya organisasi, tuntutan pekerjaan, dan faktor situasional seperti lingkungan yang penuh tekanan dapat berkontribusi pada terjadinya abusive supervision (Bauer, 2010).
Implikasi dari temuan ini sangat mendalam. Organisasi harus memprioritaskan penciptaan lingkungan kerja yang positif di mana karyawan merasa dihargai, dihormati, dan termotivasi untuk memberikan kontribusi terbaik mereka. Hal ini dapat dicapai melalui implementasi kebijakan anti-bullying, penyediaan pelatihan untuk para atasan, pembinaan budaya rasa hormat, dan memastikan adanya saluran komunikasi yang jelas. Intervensi yang efektif dapat secara signifikan mengurangi prevalensi dan dampak abusive supervision (Bowling & Beehr, 2006). Selain itu, pemahaman tentang nuansa budaya dan peran emotional intelligence dalam meringankan abusive supervision dapat membantu organisasi mengembangkan intervensi dan mekanisme dukungan yang tepat sasaran (Martinko, Harvey, & Dasborough, 2013).
Sebagai kesimpulan, abusive supervision adalah isu krusial yang menuntut perhatian segera dari organisasi. Temuan dari laporan penelitian ini menggarisbawahi perlunya langkah-langkah proaktif untuk mengatasi dan mencegah abusive supervision. Dengan membina budaya rasa hormat, menyediakan pelatihan dan dukungan yang memadai, dan menerapkan kebijakan serta prosedur yang jelas, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif bagi semua karyawan. Penelitian di masa depan harus terus mengeksplorasi efek jangka panjang dari abusive supervision dan efektivitas berbagai intervensi dalam meringankan dampaknya.