Ageism
-
Robi Maulana - 28 May, 2025
Definisi Ageism
Ageism adalah stereotip, prasangka, dan diskriminasi yang sistematis terhadap individu berdasarkan usia mereka. Dalam konteks pekerjaan, ageism memengaruhi berbagai faktor terkait pekerjaan, tahap, dan keputusan. Dampaknya terasa dalam praktik perekrutan, prospek promosi, akses terhadap peluang pelatihan dan pengembangan, dan, pada akhirnya, keputusan untuk keluar lebih awal dari pasar tenaga kerja dan pensiun.
Meskipun ageism sering dibahas dan diteliti terutama pada pekerja yang lebih tua (Harris et al., 2018), penting untuk dicatat bahwa konsep ini mencakup stereotip, prasangka, dan diskriminasi berdasarkan usia seseorang atau keanggotaan dalam suatu kelompok usia. Oleh karena itu, ageism dapat dialami pada usia dan tahap kehidupan apa pun. Beberapa survei melaporkan bahwa pekerja yang lebih muda melaporkan ageism lebih banyak daripada pekerja yang lebih tua (World Health Organization, 2021).
Ageism adalah fenomena yang kompleks, berlapis-lapis, dan bernuansa. Manifestasinya terlihat pada level mikro, termasuk intrapersonal (self-ageism), interpersonal, dan hubungan antar kelompok; pada level meso dalam praktik organisasi; dan pada level makro, memengaruhi kebijakan dan hukum institusional. Selain itu, ageism juga hadir pada level kultural, seperti dalam representasi stereotip kelompok usia di media. Intinya, ageism terjadi kapan pun seseorang dianggap berusia ‘salah’ untuk peran atau kesempatan tertentu. Ini sangat tertanam dalam pelembagaan perjalanan hidup modern dan ide yang berlaku tentang kesesuaian usia-pekerjaan (age-job fit) yang terus membentuk pasar tenaga kerja dan keputusan organisasi (Previtali, Keskinen, et al., 2020).
Ageism bukanlah konstruksi monolitik; ia beririsan dengan bentuk diskriminasi lain, seperti seksisme dan rasisme, sehingga memperumit pengalaman individu dari pekerja yang termarginalisasi. Selain itu, meskipun sebagian besar studi tentang topik ini berasal dari negara-negara Barat, ageism dibentuk oleh budaya, termasuk di tingkat organisasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengadopsi pendekatan yang dikontekstualisasikan dan diinformasikan secara budaya saat mengkaji isu ini.
Secara keseluruhan, ageism adalah masalah global yang memengaruhi individu di berbagai budaya dan ekonomi. Ini tetap menjadi topik yang memerlukan lebih banyak pengakuan dan penelitian di dalam organisasi. Sementara penelitian ekstensif tentang pekerja yang lebih tua dan perpanjangan masa kerja diterbitkan secara rutin, diskusi-diskusi ini sering mengabaikan topik ageism, secara tidak sengaja berisiko melanggengkan pandangan ageist yang didasarkan pada usia. Pada bagian selanjutnya, ringkasan sejarah singkat dari konsep ini, beberapa teori terkait, dan aplikasinya dalam psikologi kerja dan organisasi akan dirangkum.
Istilah dan Sejarahnya
Istilah “ageism” diciptakan oleh Robert Butler pada tahun 1969 untuk menyoroti meningkatnya diskriminasi terhadap orang yang lebih tua di Amerika Serikat (Butler, 1969). Sejak saat itu, konsep ini telah berevolusi dan meluas. Tonggak penting dalam perkembangan teoretisnya termasuk pengakuan stereotip positif dan perlakuan yang menguntungkan terhadap orang yang lebih tua berdasarkan usia kronologis mereka, serta pengenalan self-ageism, yang mengacu pada stereotip yang diinternalisasi berdasarkan usia atau keanggotaan kelompok usia (untuk lebih lanjut tentang stereotype embodiment theory, lihat Levy, 2009).
Pada tahun 2021, World Health Organization merilis Laporan Global tentang Ageism yang pertama, membawa isu ini menjadi sorotan internasional bagi para pembuat kebijakan dan peneliti (World Health Organization, 2021). Pandemi COVID-19 semakin mempercepat minat pada topik ini, mengungkapkan banyak contoh kebijakan ageist, wacana media, dan perilaku, terutama selama gelombang awal (Previtali, Allen, et al., 2020).
Ageism terkait erat dengan tren sosio-demografis penuaan populasi global. Terutama di negara-negara Barat, populasi semakin menua, memengaruhi demografi tenaga kerja. Komitmen politik untuk memperpanjang masa kerja telah meningkatkan proporsi pekerja yang lebih tua dalam angkatan kerja, membuat ageism menjadi hambatan untuk mempertahankan pekerja dan masalah potensial dalam tim dengan keragaman usia.
Ageism di Tempat Kerja
Ageism di tempat kerja banyak dialami dalam angkatan kerja, meskipun diskriminasi usia dilarang secara hukum setidaknya di Uni Eropa dan bagi pekerja yang berusia di atas 45 tahun di Amerika Serikat. Hukum dan kebijakan mungkin mengatasi bentuk-bentuk diskriminasi usia yang terang-terangan, seperti perekrutan atau promosi yang hanya didasarkan pada usia, tetapi seringkali gagal menangkap bentuk-bentuk ageism yang lebih halus seperti mikroagresi atau norma-norma usia yang dianggap biasa (taken-for-granted age norms). Selain itu, ageism dapat mengambil bentuk baru dan disamarkan melalui wacana alternatif yang terkait dengan generasi atau pengalaman.
Perbedaan antara kerangka hukum dan pengalaman nyata ini menyoroti kompleksitas ageism dan perbedaan teoretisnya dengan diskriminasi usia. Bentuk-bentuk ageism yang halus dan tidak ditantang mungkin kurang mudah dikenali tetapi sama-sama merusak dalam kemampuannya untuk melanggengkan ketidaksetaraan berbasis usia dan berdampak negatif pada dinamika tempat kerja.
Ketika berbicara tentang ageism, usia dianggap sebagai usia kronologis. Dengan demikian, konsep pekerja yang lebih tua dan lebih muda juga didefinisikan berdasarkan usia kronologis dalam literatur.
Pekerja yang lebih tua umumnya dianggap berusia 50 tahun atau lebih. Namun demikian, pemahaman holistik tentang konsep ageism melalui pemahaman yang bernuansa tentang konsep usia. Usia di tempat kerja lebih dari sekadar usia kronologis (chronological age) (de Lange et al., 2011); ini adalah lapisan identitas yang mendefinisikan keanggotaan kelompok dan dapat dinegosiasikan ulang tergantung pada budaya organisasi, tim, dan hubungan interpersonal.
Banyak penelitian telah menyoroti stereotip negatif yang terkait dengan karyawan yang lebih tua. Mereka sering dianggap kurang mudah beradaptasi, kurang bersedia untuk mengikuti pelatihan tambahan, dan kurang produktif dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih muda (Abrams, Swift, & Drury, 2016).
Stereotip semacam itu tidak hanya berdampak pada jenjang karier orang dewasa yang lebih tua; mereka juga melanggengkan sistem ketidaksetaraan berbasis usia yang lebih luas, termasuk memburuknya stabilitas ekonomi dan kesejahteraan psikologis bagi orang dewasa yang lebih tua.
Ageism adalah ‘sasaran yang bergerak’ (moving target) seperti halnya usia dan penuaan. Ageism beradaptasi dengan persepsi yang kita miliki tentang usia yang juga dipengaruhi oleh budaya kita yang terus berubah dan berkembang. Oleh karena itu, sementara beberapa stereotip mungkin tidak lagi relevan, kategori baru muncul. Meningkatnya fokus pada stereotip generasi—seperti “Gen Z” dan “Millennials”—di dalam organisasi semakin memperumit masalah. Mendefinisikan strategi organisasi berdasarkan keanggotaan generasi berisiko mengecualikan kelompok usia lain, memperburuk ageism.
Meskipun berdampak pada kehidupan sehari-hari, usia masih belum dianggap sebagai kategori yang relevan untuk dimasukkan dalam kebijakan diversity, equity, and inclusion (DEI) di banyak perusahaan. Berdasarkan kompleksitas dan sifat relasional ageism dan nuansa usia sebagai kategori untuk membangun identitas yang dapat dinegosiasikan, kebijakan yang tertarik untuk mengurangi ageism perlu dimulai dari pemahaman tentang dinamika usia dan ageism dalam konteks organisasi, ekonomi, dan nasional yang diminati.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa ketika manajer atau perekrut dibiarkan sendiri dengan kebijakan yang sulit diimplementasikan, mereka cenderung menghindari topik tersebut dan, sebagai konsekuensinya, meningkatkan eksklusi kelompok yang sudah termarginalisasi (Previtali et al., 2022).
Mengatasi ageism membutuhkan upaya bersama di tingkat organisasi dan kebijakan. Penelitian di masa depan harus fokus pada interseksionalitas usia dengan bentuk diskriminasi lain dan mengeksplorasi bagaimana konteks budaya yang berbeda membentuk ageism. Ini akan melibatkan pemeriksaan kritis terhadap sikap ageist dan struktur kelembagaan yang melanggengkan mereka, menawarkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang masalah dan solusi potensial.
Referensi
- Abrams, D., Swift, H. J., & Drury, L. (2016). Old and unemployable? How age-based stereotypes affect willingness to hire job candidates. Journal of Social Issues, 72(1), 105–121. https://doi.org/10.1111/josi.12158
- Butler, R. N. (1969). Age-ism: Another form of bigotry. Gerontologist, 9(4), 243–246.
- De Lange, A. H., Bal, P. M., Van der Heijden, B. I. J. M., de Jong, N., & Schaufeli, W. B. (2011). When I’m 64: Psychological contract breach, work motivation and the moderating roles of future time perspective and regulatory focus. Work and Stress, 25(4), 338–354. https://doi.org/10.1080/02678373.2011.632610
- Harris, K., Krygsman, S., Waschenko, J., & Laliberte Rudman, D. (2018). Ageism and the older worker: A scoping review. Gerontologist, 58(2), e1–e14. https://doi.org/10.1093/geront/gnw194
- Levy, B. (2009). Stereotype embodiment: A psychosocial approach to aging. Current Directions in Psychological Science, 18(6), 332–336. https://doi.org/10.1111/j.1467–8721.2009.01662.x
- Previtali, F., Allen, L. D., & Varlamova, M. (2020). Not only virus spread: The diffusion of ageism during the outbreak of COVID-19. Journal of Aging & Social Policy, 32(4–5), 506–514. https://doi.org/10.1080/08959420.2020.1772002
- Previtali, F., Keskinen, K., Niska, M., & Nikander, P. (2020). Ageism in working life: A scoping review on discursive approaches. The Gerontologist, XX, 1–15. https://doi.org/10.1093/geront/gnaa119
- Previtali, F., Nikander, P., & Ruusuvuori, J. (2022). Ageism in job interviews: Discreet ways of building co-membership through age categorisation. Discourse Studies, 146144562211187. https://doi.org/10.1177/14614456221118770
- World Health Organization. (2021). Global report on ageism. In Global report on ageism (Vol. 978).