Client-Centered Therapy
-
Robi Maulana - 14 Mar, 2023
Dikembangkan pada 1930-an oleh psikolog Amerika Carl Rogers, client-centered therapy—juga dikenal sebagai non-directive atau Rogerian therapy—berbeda dari peran terapis yang biasanya formal dan terpisah yang umum dalam psikoanalisis dan bentuk pengobatan lainnya. Rogers percaya bahwa terapi harus dilakukan dalam lingkungan yang mendukung yang diciptakan oleh hubungan pribadi yang dekat antara klien dan terapis. Penggunaan istilah “klien” oleh Rogers dibandingkan dengan “pasien” mengungkapkan penolakannya terhadap hubungan otoriter tradisional antara terapis dan klien serta pandangannya bahwa mereka adalah setara. Klien menentukan arah umum terapi, sementara terapis berusaha meningkatkan pemahaman diri klien melalui pertanyaan klarifikasi informal.
Rogers percaya bahwa faktor terpenting dalam terapi yang sukses bukanlah keterampilan atau pelatihan terapis, tetapi sikap mereka. Tiga sikap yang saling terkait dari terapis adalah pusat dari keberhasilan client-centered therapy: kongruensi, unconditional positive regard, dan empati. Kongruensi mengacu pada keterbukaan dan keaslian terapis—kesediaan untuk berhubungan dengan klien tanpa menyembunyikan diri di balik fasad profesional. Terapis yang berfungsi dengan cara ini memiliki semua perasaan mereka tersedia dalam sesi terapi dan dapat membagikan perasaan-perasaan penting dengan klien mereka. Namun, kongruensi tidak berarti bahwa terapis mengungkapkan masalah pribadi mereka kepada klien dalam sesi terapi atau mengalihkan fokus terapi kepada diri mereka sendiri dengan cara lain.
Unconditional positive regard berarti bahwa terapis menerima klien sepenuhnya sebagaimana adanya tanpa menilai atau menyensor, dan tanpa menolak perasaan, tindakan, atau karakteristik tertentu. Terapis mengkomunikasikan sikap ini kepada klien dengan kesediaan untuk mendengarkan tanpa menyela, menilai, atau memberikan nasihat. Ini menciptakan konteks yang tidak mengancam di mana klien merasa bebas untuk mengeksplorasi dan berbagi perasaan yang menyakitkan, bermusuhan, defensif, atau abnormal tanpa khawatir tentang penolakan pribadi dari terapis.
Komponen ketiga yang diperlukan dari sikap terapis adalah empati (“pemahaman empatik yang akurat”). Terapis berusaha memahami situasi klien dari sudut pandang klien, menunjukkan pemahaman emosional dan kepekaan terhadap perasaan klien sepanjang sesi terapi. Dalam sistem terapi lain, empati dengan klien dianggap sebagai langkah awal yang memungkinkan pekerjaan terapeutik untuk dilanjutkan, tetapi dalam client-centered therapy, ini sebenarnya merupakan bagian besar dari pekerjaan terapeutik itu sendiri. Salah satu cara utama untuk menyampaikan empati ini adalah melalui mendengarkan aktif yang menunjukkan perhatian yang hati-hati dan tajam terhadap apa yang dikatakan klien. Selain teknik standar, seperti kontak mata, yang umum pada pendengar yang baik, terapis client-centered menggunakan metode khusus yang disebut refleksi, yang terdiri dari parafrase dan/atau merangkum apa yang baru saja dikatakan klien. Teknik ini menunjukkan bahwa terapis mendengarkan dengan cermat dan akurat serta memberikan kesempatan tambahan kepada klien untuk memeriksa pikiran dan perasaan mereka saat mendengarnya diulang oleh orang lain. Secara umum, klien merespons dengan mengelaborasi lebih lanjut pikiran yang baru saja mereka ungkapkan.
Dua tujuan utama dari client-centered therapy adalah peningkatan harga diri dan keterbukaan yang lebih besar terhadap pengalaman. Beberapa perubahan terkait yang berusaha dipupuk dalam klien meliputi peningkatan kesesuaian antara diri ideal dan diri aktual klien; pemahaman diri yang lebih baik; penurunan defensif, rasa bersalah, dan ketidakamanan; hubungan yang lebih positif dan nyaman dengan orang lain; serta kapasitas yang meningkat untuk mengalami dan mengekspresikan perasaan pada saat perasaan itu terjadi. Mulai 1960-an, client-centered therapy menjadi beraliansi dengan gerakan potensi manusia. Rogers mengadopsi istilah seperti “pendekatan berpusat pada orang” dan “cara menjadi” dan mulai fokus pada pertumbuhan pribadi dan aktualisasi diri. Dia juga memelopori penggunaan kelompok pertemuan, mengadaptasi metode pelatihan sensitivitas (T-group) yang dikembangkan oleh Kurt Lewin (1890-1947) dan peneliti lainnya di National Training Laboratories pada 1950-an.
Meskipun client-centered therapy dianggap sebagai salah satu pendekatan terapeutik utama, bersama dengan terapi psikoanalitik dan kognitif-perilaku, pengaruh Rogers terasa di sekolah terapi lain selain miliknya sendiri, dan konsep serta metode yang dia kembangkan digunakan secara eklektik oleh berbagai jenis konselor dan terapis.