Ketidakamanan Kerja di Tempat Kerja (Job Insecurity)
-
Robi Maulana - 28 Sep, 2025
Job insecurity (ketidakamanan kerja), didefinisikan sebagai antisipasi subjektif dari peristiwa mendasar dan tidak disengaja terkait job loss (kehilangan pekerjaan), telah muncul sebagai perhatian signifikan dalam lingkungan kerja kontemporer (Sverke, Hellgren, & Näswall, 2002). Fenomena ini ditandai oleh rasa ketidakpastian yang meluas di kalangan karyawan mengenai stabilitas dan kelangsungan pekerjaan mereka, sering kali diperburuk oleh kemerosotan ekonomi, restrukturisasi organisasi, dan kemajuan teknologi (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984). Sifat dari ketidakamanan kerja yang meluas semakin disoroti oleh studi-studi terbaru yang menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja di Amerika Serikat dan Eropa menyatakan kekhawatiran tentang potensi kehilangan pekerjaan (Gallup, 2023; Eurofound, 2024).
Dampak dari ketidakamanan kerja melampaui sekadar implikasi ekonomi, secara mendalam memengaruhi kesejahteraan psikologis dan fisik karyawan. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan hasil kesehatan yang merugikan, termasuk peningkatan tingkat stres, kecemasan, dan gejala depresif (Burgard, Brand, & House, 2009; De Witte, Pienaar, & De Cuyper, 2016). Selain itu, ketidakamanan kerja telah dikaitkan dengan penurunan kepuasan kerja (job satisfaction), berkurangnya komitmen organisasi (organizational commitment), dan tingkat keterlibatan kerja (work engagement) yang lebih rendah, yang pada akhirnya merusak produktivitas dan kinerja organisasi secara keseluruhan (Harter, Schmidt, & Hayes, 2002; van Woerkom, Oerlemans, & Bakker, 2016).
Di Indonesia, dinamika ketidakamanan kerja menyajikan interaksi unik antara faktor sosio-ekonomi dan nuansa budaya. Studi-studi terbaru telah mengungkapkan temuan paradoks, menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, ketidakamanan kerja secara paradoks dapat meningkatkan kepuasan kerja di kalangan karyawan. Fenomena ini dikaitkan dengan mekanisme coping adaptif yang digunakan oleh pekerja untuk menavigasi ketidakpastian ekonomi dan tantangan organisasi (Gunawan et al., 2023). Temuan semacam itu menggarisbawahi pentingnya faktor kontekstual dalam membentuk persepsi dan respons karyawan terhadap ketidakamanan kerja, menyoroti perlunya intervensi yang disesuaikan yang mempertimbangkan dinamika sosio-kultural spesifik dari angkatan kerja Indonesia.
Lanskap penelitian tentang ketidakamanan kerja di Indonesia telah diperkaya oleh studi kuantitatif dan kualitatif, menggunakan beragam metodologi untuk mengeksplorasi dimensi multifaset dari isu kompleks ini. Tinjauan sistematis dan analisis bibliometrik telah memberikan wawasan berharga tentang tren yang berkembang dan arah masa depan penelitian ketidakamanan kerja, menekankan perlunya pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan perspektif psikologis, organisasi, dan ekonomi (Zhafira & Widodo, 2024). Lebih lanjut, studi yang berfokus pada industri spesifik, seperti sektor pertambangan, telah menyoroti tantangan unik dan strategi coping yang diadopsi oleh karyawan dalam menanggapi ketidakamanan kerja (Gunawan et al., 2023).
Singkatnya, ketidakamanan kerja mewakili tantangan yang beragam dan terus berkembang di tempat kerja kontemporer, dengan implikasi mendalam bagi kesejahteraan karyawan dan kinerja organisasi. Interaksi rumit antara faktor ekonomi, organisasi, dan budaya menggarisbawahi perlunya pendekatan yang komprehensif dan sensitif konteks untuk mengatasi isu kritis ini. Seiring angkatan kerja global terus menavigasi kompleksitas lingkungan kerja modern, penelitian berkelanjutan dan intervensi strategis akan menjadi penting untuk mengurangi dampak buruk dari ketidakamanan kerja dan menumbuhkan angkatan kerja yang lebih aman dan produktif.
Definisi dan Konseptualisasi Ketidakamanan Kerja
Landasan Konseptual Ketidakamanan Kerja
Ketidakamanan kerja adalah ancaman yang dirasakan akan kehilangan pekerjaan atau antisipasi perubahan mendasar dan tidak disengaja dalam status pekerjaan seseorang (De Witte, 2005). Persepsi ini bersifat subjektif dan dapat sangat bervariasi di antara individu, bahkan dalam konteks organisasi yang sama. Konseptualisasi ketidakamanan kerja sering mencakup dimensi kognitif dan afektif, di mana aspek kognitif melibatkan penilaian rasional terhadap risiko kehilangan pekerjaan, sementara dimensi afektif mencakup respons emosional terhadap ancaman semacam itu (Sverke, Hellgren, & Näswall, 2002).
Literatur membedakan antara berbagai jenis ketidakamanan kerja, termasuk ketidakamanan kerja kuantitatif (ketakutan kehilangan pekerjaan secara keseluruhan) dan ketidakamanan kerja kualitatif (ketakutan kehilangan fitur pekerjaan yang diinginkan, seperti status, tanggung jawab, atau kondisi kerja) (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984). Perbedaan ini penting untuk memahami cara bernuansa di mana ketidakamanan kerja bermanifestasi dan berdampak pada karyawan.
Anteseden Ketidakamanan Kerja
Ketidakamanan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal organisasi. Faktor eksternal mencakup kemerosotan ekonomi, kemajuan teknologi, dan perubahan dalam regulasi industri, yang dapat menciptakan lingkungan ketidakpastian dan ketidakstabilan. Faktor internal, di sisi lain, mencakup restrukturisasi organisasi, downsizing, dan perubahan dalam praktik manajemen (De Witte, Pienaar, & De Cuyper, 2016). Selain itu, karakteristik individu seperti sifat kepribadian, masa kerja (job tenure), dan persepsi kelayakan kerja (perceived employability) juga memainkan peran signifikan dalam membentuk pengalaman ketidakamanan kerja seseorang (Burgard, Brand, & House, 2009).
Pandemi COVID-19 semakin memperburuk ketidakamanan kerja secara global, dengan banyak industri menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di Indonesia, pandemi menyebabkan peningkatan signifikan dalam kehilangan pekerjaan dan ketidakstabilan ekonomi, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata, perhotelan, dan ritel. Sektor informal, yang mempekerjakan sebagian besar angkatan kerja Indonesia, sangat rentan, karena pekerjaan ini sering kali kekurangan perlindungan dan manfaat yang terkait dengan pekerjaan formal (Eurofound, 2024).
Pengukuran dan Asesmen Ketidakamanan Kerja
Pengukuran ketidakamanan kerja telah berevolusi selama bertahun-tahun, dengan para peneliti mengembangkan berbagai skala dan instrumen untuk menangkap sifat multidimensinya. Salah satu ukuran yang paling banyak digunakan adalah Job Insecurity Scale, yang menilai dimensi kognitif dan afektif dari ketidakamanan kerja (Ashford, Lee, & Bobko, 1989). Skala lain, seperti Job Insecurity Scale for Managers, telah dikembangkan untuk mengatasi konteks dan populasi spesifik (Roskies & Louis-Guerin, 1990).
Di Indonesia, penelitian tentang ketidakamanan kerja masih terbatas tetapi mulai mendapatkan perhatian. Studi-studi telah mulai mengeksplorasi prevalensi dan dampak ketidakamanan kerja di berbagai sektor, termasuk manufaktur, pertanian, dan sektor informal. Misalnya, sebuah studi oleh Kelpin Adiyatma dan Nida Hasanati (2025) menguji konsekuensi ketidakamanan kerja di tempat kerja, menyoroti efek negatif pada kesejahteraan karyawan dan kinerja organisasi. Studi tersebut menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan peningkatan stres, penurunan kepuasan kerja, dan niat turnover yang lebih tinggi di kalangan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Kesejahteraan Karyawan
Konsekuensi dari ketidakamanan kerja sangat luas dan dapat memiliki implikasi signifikan bagi kesejahteraan karyawan (employee well-being). Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan hasil kesehatan fisik dan mental yang merugikan, termasuk peningkatan stres, kecemasan, dan depresi (De Witte, Pienaar, & De Cuyper, 2016). Karyawan yang mengalami ketidakamanan kerja juga dapat menunjukkan tingkat keterlibatan (engagement) dan komitmen yang lebih rendah terhadap organisasi mereka, yang mengarah pada penurunan produktivitas dan kinerja (Harter, Schmidt, & Hayes, 2002).
Dalam konteks Indonesia, dampak ketidakamanan kerja terhadap kesejahteraan karyawan sangat menonjol karena tingginya prevalensi pekerjaan informal. Pekerja informal seringkali tidak memiliki akses ke perlindungan sosial, manfaat kesehatan, dan jaminan pekerjaan, membuat mereka lebih rentan terhadap efek negatif dari ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Roby (2025) menyoroti kerentanan pekerja informal di Indonesia, mencatat bahwa kurangnya jaminan pekerjaan yang layak memperburuk paparan mereka terhadap risiko ekonomi dan sosial.
Respons Organisasi dan Kebijakan terhadap Ketidakamanan Kerja
Organisasi dan pembuat kebijakan memainkan peran penting dalam memitigasi efek ketidakamanan kerja. Strategi organisasi untuk mengatasi ketidakamanan kerja mencakup komunikasi yang transparan, keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan penyediaan peluang pelatihan dan pengembangan (Vander Elst, Baillien, De Cuyper, & De Witte, 2010). Langkah-langkah ini dapat membantu membangun kepercayaan dan mengurangi ketidakpastian di kalangan karyawan, sehingga meningkatkan rasa jaminan pekerjaan mereka.
Pada tingkat kebijakan, pemerintah dapat menerapkan langkah-langkah untuk melindungi hak-hak pekerja, mempromosikan pekerjaan yang stabil, dan menyediakan jaring pengaman sosial bagi mereka yang terkena dampak kehilangan pekerjaan. Di Indonesia, upaya untuk mengatasi ketidakamanan kerja termasuk perluasan program perlindungan sosial, promosi pekerjaan formal, dan implementasi kebijakan pasar tenaga kerja yang bertujuan untuk mengurangi informalitas dan meningkatkan kualitas pekerjaan (Eurofound, 2024).
Tren Penelitian dan Arah Masa Depan
Studi tentang ketidakamanan kerja telah berkembang secara signifikan selama beberapa dekade terakhir, dengan para peneliti mengadopsi beragam pendekatan metodologis untuk memahami kompleksitasnya. Tren terbaru dalam penelitian ketidakamanan kerja meliputi penggunaan studi longitudinal untuk menguji efek jangka panjang dari ketidakamanan kerja terhadap kesehatan dan kesejahteraan (De Witte, Pienaar, & De Cuyper, 2016), serta penerapan teknik statistik canggih untuk menganalisis interaksi antara ketidakamanan kerja dan faktor organisasi dan individu lainnya (Görgens-Ekermans et al., 2024).
Penelitian masa depan tentang ketidakamanan kerja harus berfokus pada beberapa area utama. Pertama, ada kebutuhan untuk lebih banyak studi yang menguji dampak ketidakamanan kerja di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana sektor informal memainkan peran signifikan dalam perekonomian. Kedua, peneliti harus mengeksplorasi peran kemajuan teknologi, seperti otomasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence), dalam membentuk ketidakamanan kerja di era digital. Akhirnya, ada kebutuhan untuk penelitian interdisipliner yang mengintegrasikan wawasan dari psikologi, sosiologi, ekonomi, dan perilaku organisasi untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang ketidakamanan kerja dan konsekuensinya.
Ketidakamanan Kerja dalam Konteks Indonesia
Di Indonesia, ketidakamanan kerja telah menjadi perhatian yang meningkat, terutama setelah pandemi COVID-19 dan kemerosotan ekonomi berikutnya. Sektor informal, yang mempekerjakan sebagian besar angkatan kerja, sangat rentan terhadap ketidakamanan kerja karena kurangnya kontrak kerja formal dan perlindungan sosial. Sebuah studi oleh Kelpin Adiyatma dan Nida Hasanati (2025) menyoroti konsekuensi negatif dari ketidakamanan kerja terhadap kesejahteraan karyawan dan kinerja organisasi di Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan peningkatan stres, kecemasan, dan depresi di kalangan karyawan, serta tingkat kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang lebih rendah.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengatasi ketidakamanan kerja, termasuk perluasan program perlindungan sosial dan promosi pekerjaan formal. Namun, tantangan tetap ada dalam memastikan efektivitas kebijakan-kebijakan ini, terutama dalam menjangkau pekerja informal yang sering kali dikecualikan dari jaring pengaman sosial formal. Penelitian masa depan harus berfokus pada evaluasi dampak kebijakan ini dan identifikasi strategi untuk meningkatkan jangkauan dan efektivitasnya.
Analisis Komparatif Ketidakamanan Kerja di Indonesia dan Negara Lain
Studi komparatif tentang ketidakamanan kerja di berbagai negara dapat memberikan wawasan berharga tentang faktor-faktor yang memengaruhi jaminan kerja dan efektivitas intervensi kebijakan. Sebuah studi oleh Cheng dan Chan (2008) membandingkan prevalensi dan konsekuensi ketidakamanan kerja di berbagai negara, termasuk Indonesia, dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja lebih menonjol di negara-negara dengan tingkat ketidakstabilan ekonomi dan informalitas yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya faktor budaya dalam membentuk persepsi karyawan tentang jaminan kerja dan respons mereka terhadap ketidakamanan kerja.
Di Indonesia, tingginya prevalensi pekerjaan informal dan kurangnya perlindungan sosial bagi pekerja informal berkontribusi pada tingkat ketidakamanan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara dengan jaring pengaman sosial yang lebih kuat. Studi komparatif dapat membantu mengidentifikasi praktik terbaik (best practices) dan intervensi kebijakan yang dapat diadaptasi ke konteks Indonesia untuk meningkatkan jaminan kerja dan melindungi hak-hak pekerja.
Kemajuan Teknologi dan Ketidakamanan Kerja
Kemajuan teknologi yang pesat, khususnya otomasi dan kecerdasan buatan, memiliki implikasi signifikan terhadap ketidakamanan kerja. Meskipun teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, teknologi juga dapat menyebabkan penggantian pekerjaan (job displacement) dan peningkatan ketidakamanan kerja, terutama di sektor-sektor yang sangat terotomasi. Di Indonesia, adopsi teknologi di berbagai industri telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi dampaknya terhadap lapangan kerja dan jaminan kerja.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kemajuan teknologi dapat menyebabkan polarisasi pekerjaan, di mana pekerjaan berketerampilan tinggi tumbuh sementara pekerjaan berketerampilan menengah menurun, yang mengarah pada peningkatan ketidakamanan kerja di kalangan pekerja berketerampilan menengah (Buelens & Van den Broeck, 2007). Di Indonesia, pemerintah telah mengakui perlunya mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan telah menerapkan kebijakan untuk mempromosikan literasi digital dan program peningkatan keterampilan (upskilling) bagi pekerja. Penelitian masa depan harus berfokus pada evaluasi efektivitas program-program ini dalam memitigasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kemampuan adaptasi pekerja terhadap perubahan teknologi.
Respons Psikologis dan Perilaku terhadap Ketidakamanan Kerja
Respons psikologis dan perilaku karyawan terhadap ketidakamanan kerja dapat sangat bervariasi, tergantung pada karakteristik individu, konteks organisasi, dan faktor eksternal. Penelitian telah menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja dapat menyebabkan berbagai respons psikologis, termasuk peningkatan stres, kecemasan, dan depresi, serta respons perilaku seperti penurunan kinerja kerja, absensi, dan niat turnover (Probst, 2002).
Di Indonesia, respons psikologis dan perilaku terhadap ketidakamanan kerja dipengaruhi oleh faktor budaya, termasuk pentingnya harmoni sosial dan konsep “gotong royong” (kerja sama timbal balik). Sebuah studi oleh Kelpin Adiyatma dan Nida Hasanati (2025) menemukan bahwa karyawan di Indonesia sering merespons ketidakamanan kerja dengan mencari dukungan sosial dari rekan kerja dan anggota keluarga, serta terlibat dalam strategi coping seperti doa dan meditasi. Penelitian masa depan harus mengeksplorasi peran faktor budaya dalam membentuk respons karyawan terhadap ketidakamanan kerja dan efektivitas strategi coping yang berbeda dalam memitigasi konsekuensi negatif dari ketidakamanan kerja.
Ketidakamanan Kerja dan Kinerja Organisasi
Dampak ketidakamanan kerja terhadap kinerja organisasi adalah area penelitian yang penting, karena memiliki implikasi signifikan bagi karyawan dan organisasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja dapat menyebabkan berkurangnya keterlibatan karyawan, produktivitas yang lebih rendah, dan peningkatan turnover, yang semuanya dapat berdampak negatif pada kinerja organisasi (Harter, Schmidt, & Hayes, 2002).
Dalam konteks Indonesia, tingginya prevalensi ketidakamanan kerja, terutama di sektor informal, dapat memiliki konsekuensi signifikan bagi kinerja organisasi. Sebuah studi oleh Kelpin Adiyatma dan Nida Hasanati (2025) menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat keterlibatan karyawan dan komitmen organisasi yang lebih rendah, serta tingkat absensi dan turnover yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya komunikasi yang transparan dan keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan dalam memitigasi efek negatif dari ketidakamanan kerja terhadap kinerja organisasi.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Mengatasi ketidakamanan kerja membutuhkan pendekatan multifaset yang melibatkan organisasi, pembuat kebijakan, dan karyawan. Organisasi dapat memainkan peran penting dalam memitigasi ketidakamanan kerja dengan menerapkan strategi komunikasi yang transparan, menyediakan peluang pelatihan dan pengembangan, dan melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan. Pembuat kebijakan dapat berkontribusi dengan menerapkan kebijakan yang melindungi hak-hak pekerja, mempromosikan pekerjaan yang stabil, dan menyediakan jaring pengaman sosial bagi mereka yang terkena dampak kehilangan pekerjaan.
Di Indonesia, pemerintah telah mengakui perlunya mengatasi ketidakamanan kerja dan telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mempromosikan pekerjaan formal dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Namun, tantangan tetap ada dalam memastikan efektivitas kebijakan-kebijakan ini, terutama dalam menjangkau pekerja informal yang sering kali dikecualikan dari jaring pengaman sosial formal. Penelitian masa depan harus berfokus pada evaluasi dampak kebijakan ini dan identifikasi strategi untuk meningkatkan jangkauan dan efektivitasnya.
Kesimpulan
Ketidakamanan kerja adalah konsep yang kompleks dan beragam yang memiliki implikasi signifikan bagi kesejahteraan karyawan dan kinerja organisasi. Studi tentang ketidakamanan kerja telah berkembang secara signifikan selama beberapa dekade terakhir, dengan para peneliti mengadopsi beragam pendekatan metodologis untuk memahami kompleksitasnya. Penelitian masa depan harus berfokus pada pemeriksaan dampak ketidakamanan kerja di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dan mengeksplorasi peran kemajuan teknologi dalam membentuk ketidakamanan kerja di era digital. Selain itu, diperlukan penelitian interdisipliner yang mengintegrasikan wawasan dari psikologi, sosiologi, ekonomi, dan perilaku organisasi untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Dengan mengatasi ketidakamanan kerja melalui pendekatan multifaset yang melibatkan organisasi, pembuat kebijakan, dan karyawan, dimungkinkan untuk meningkatkan jaminan kerja dan melindungi hak-hak pekerja, yang pada akhirnya berkontribusi pada angkatan kerja yang lebih stabil dan produktif.
Penelitian tentang Ketidakamanan Kerja di Indonesia
Pendekatan Metodologis untuk Mempelajari Ketidakamanan Kerja
Penelitian tentang ketidakamanan kerja di Indonesia telah menggunakan berbagai pendekatan metodologis untuk memahami prevalensi, penyebab, dan konsekuensinya. Studi kuantitatif telah memanfaatkan survei dan pemodelan persamaan struktural (structural equation modeling) untuk menguji hubungan antara ketidakamanan kerja dan kesejahteraan karyawan, komitmen organisasi, dan kinerja kerja (Adiyatma & Hasanati, 2025). Misalnya, sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menggunakan desain survei cross-sectional untuk mengumpulkan data dari karyawan di berbagai sektor di Indonesia. Studi ini menggunakan skala yang divalidasi untuk mengukur ketidakamanan kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kesejahteraan karyawan, memberikan wawasan tentang interaksi kompleks antara variabel-variabel ini.
Penelitian kualitatif juga telah dilakukan untuk mengeksplorasi pengalaman hidup karyawan yang menghadapi ketidakamanan kerja. Wawancara dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) telah digunakan untuk mengumpulkan informasi mendalam tentang respons psikologis dan perilaku terhadap ketidakamanan kerja (Adiyatma & Hasanati, 2025). Studi-studi ini telah menyoroti pentingnya faktor budaya, seperti dukungan sosial dan strategi coping, dalam membentuk respons karyawan terhadap ketidakamanan kerja. Contohnya, sebuah studi kualitatif oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) mengungkapkan bahwa karyawan Indonesia sering bergantung pada dukungan sosial dari rekan kerja dan anggota keluarga untuk mengatasi ketidakamanan kerja.
Pendekatan campuran metode (mixed-methods) juga telah digunakan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang ketidakamanan kerja di Indonesia. Studi-studi ini menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif untuk menangkap prevalensi dan pengalaman bernuansa dari ketidakamanan kerja. Misalnya, sebuah studi campuran metode oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menggunakan survei untuk mengukur prevalensi ketidakamanan kerja dan wawancara untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap ketidakamanan kerja di sektor informal. Studi tersebut menemukan bahwa kurangnya kontrak kerja formal dan perlindungan sosial merupakan kontributor signifikan terhadap ketidakamanan kerja di kalangan pekerja informal.
Studi Sektor-Spesifik tentang Ketidakamanan Kerja
Penelitian tentang ketidakamanan kerja di Indonesia juga telah berfokus pada sektor spesifik untuk memahami tantangan dan dinamika unik dalam industri yang berbeda. Sektor manufaktur, misalnya, telah menjadi fokus signifikan penelitian karena pentingnya dalam perekonomian Indonesia dan prevalensi pekerjaan informal. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji ketidakamanan kerja di kalangan pekerja manufaktur di Indonesia dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kesejahteraan karyawan yang lebih rendah. Studi tersebut juga menyoroti peran praktik manajemen dalam memperburuk ketidakamanan kerja, terutama di pabrik-pabrik dengan hubungan perburuhan yang buruk.
Sektor pertanian juga telah menjadi fokus penelitian tentang ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) mengeksplorasi dampak ketidakamanan kerja pada petani kecil di Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa ketidakamanan kerja merupakan perhatian signifikan bagi petani kecil, terutama mereka yang bergantung pada pasar informal untuk hasil panen mereka. Kurangnya akses ke kontrak kerja formal, perlindungan sosial, dan peluang pasar berkontribusi pada tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi di kalangan petani kecil.
Sektor informal, yang mempekerjakan sebagian besar angkatan kerja Indonesia, telah menjadi fokus utama penelitian tentang ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji konsekuensi ketidakamanan kerja di sektor informal dan menemukan bahwa pekerja informal sangat rentan terhadap ketidakamanan kerja karena kurangnya kontrak kerja formal dan perlindungan sosial. Studi tersebut juga menyoroti peran kebijakan pemerintah dalam mengatasi ketidakamanan kerja di sektor informal, khususnya perlunya kebijakan yang mempromosikan pekerjaan formal dan meningkatkan kualitas pekerjaan.
Peran Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Kebijakan pemerintah memainkan peran penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mempromosikan pekerjaan formal, meningkatkan kualitas pekerjaan, dan menyediakan perlindungan sosial bagi pekerja. Misalnya, pemerintah telah memperkenalkan kebijakan untuk mendorong formalisasi pekerjaan informal, seperti Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan sosial, seperti asuransi kesehatan dan manfaat pensiun, kepada pekerja informal yang sering kali dikecualikan dari jaring pengaman sosial formal.
Namun, tantangan tetap ada dalam memastikan efektivitas kebijakan-kebijakan ini, terutama dalam menjangkau pekerja informal yang sering kali dikecualikan dari jaring pengaman sosial formal. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menyoroti perlunya kebijakan yang meningkatkan jangkauan dan efektivitas perlindungan sosial bagi pekerja informal. Studi tersebut menyarankan bahwa kebijakan harus berfokus pada peningkatan akses ke perlindungan sosial, penyediaan peluang pelatihan dan pengembangan, dan promosi pekerjaan formal.
Kemajuan Teknologi dan Ketidakamanan Kerja
Kemajuan teknologi, seperti otomasi dan kecerdasan buatan, telah berdampak signifikan pada ketidakamanan kerja di Indonesia. Adopsi cepat teknologi baru telah menyebabkan penggantian pekerjaan dan ketidakpastian, terutama di sektor-sektor yang sangat rentan terhadap otomasi. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak kemajuan teknologi terhadap ketidakamanan kerja di sektor manufaktur dan menemukan bahwa otomasi telah menyebabkan kehilangan pekerjaan dan peningkatan ketidakamanan kerja di kalangan pekerja. Studi tersebut juga menyoroti perlunya kebijakan yang mendukung pekerja dalam transisi ke pekerjaan baru dan memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi.
Studi Komparatif Ketidakamanan Kerja di Indonesia dan Negara Lain
Studi komparatif tentang ketidakamanan kerja di berbagai negara dapat memberikan wawasan berharga tentang faktor-faktor yang memengaruhi jaminan kerja dan efektivitas intervensi kebijakan. Sebuah studi oleh Cheng dan Chan (2008) membandingkan prevalensi dan konsekuensi ketidakamanan kerja di berbagai negara, termasuk Indonesia, dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja lebih menonjol di negara-negara dengan tingkat ketidakstabilan ekonomi dan informalitas yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya faktor budaya dalam membentuk persepsi karyawan tentang jaminan kerja dan respons mereka terhadap ketidakamanan kerja.
Di Indonesia, tingginya prevalensi pekerjaan informal dan kurangnya perlindungan sosial bagi pekerja informal berkontribusi pada tingkat ketidakamanan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara dengan jaring pengaman sosial yang lebih kuat. Studi komparatif dapat membantu mengidentifikasi praktik terbaik dan intervensi kebijakan yang dapat diadaptasi ke konteks Indonesia untuk meningkatkan jaminan kerja dan melindungi hak-hak pekerja. Misalnya, sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) membandingkan efektivitas kebijakan perlindungan sosial di Indonesia dan negara lain dan menemukan bahwa kebijakan yang mempromosikan pekerjaan formal dan meningkatkan kualitas pekerjaan lebih efektif dalam mengurangi ketidakamanan kerja.
Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Ketidakamanan Kerja
Pandemi COVID-19 telah berdampak mendalam pada ketidakamanan kerja di Indonesia, memperburuk tantangan yang ada dan menciptakan yang baru. Pandemi menyebabkan peningkatan signifikan dalam kehilangan pekerjaan dan ketidakstabilan ekonomi, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata, perhotelan, dan ritel. Sektor informal, yang mempekerjakan sebagian besar angkatan kerja Indonesia, sangat rentan, karena pekerjaan ini sering kali kekurangan perlindungan dan manfaat yang terkait dengan pekerjaan formal (Eurofound, 2024).
Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak pandemi COVID-19 terhadap ketidakamanan kerja di Indonesia dan menemukan bahwa pandemi telah menyebabkan peningkatan signifikan dalam ketidakamanan kerja, terutama di kalangan pekerja informal. Studi tersebut juga menyoroti peran kebijakan pemerintah dalam memitigasi dampak pandemi terhadap ketidakamanan kerja, khususnya perlunya kebijakan yang memberikan perlindungan sosial dan mendukung pekerja dalam transisi ke pekerjaan baru.
Arah Penelitian Masa Depan
Penelitian masa depan tentang ketidakamanan kerja di Indonesia harus berfokus pada beberapa area utama. Pertama, ada kebutuhan untuk lebih banyak studi yang menguji dampak ketidakamanan kerja di sektor-sektor spesifik, seperti manufaktur, pertanian, dan sektor informal. Kedua, peneliti harus mengeksplorasi peran kemajuan teknologi, seperti otomasi dan kecerdasan buatan, dalam membentuk ketidakamanan kerja di era digital. Ketiga, ada kebutuhan untuk penelitian interdisipliner yang mengintegrasikan wawasan dari psikologi, sosiologi, ekonomi, dan perilaku organisasi untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang ketidakamanan kerja dan konsekuensinya.
Selain itu, penelitian masa depan harus berfokus pada evaluasi dampak kebijakan pemerintah terhadap ketidakamanan kerja dan identifikasi strategi untuk meningkatkan jangkauan dan efektivitasnya. Misalnya, sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menyarankan bahwa kebijakan harus berfokus pada peningkatan akses ke perlindungan sosial, penyediaan peluang pelatihan dan pengembangan, dan promosi pekerjaan formal. Penelitian masa depan juga harus mengeksplorasi peran faktor budaya dalam membentuk respons karyawan terhadap ketidakamanan kerja dan efektivitas strategi coping yang berbeda dalam memitigasi konsekuensi negatif dari ketidakamanan kerja.
Peran Praktik Organisasi dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Organisasi memainkan peran penting dalam memitigasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Strategi komunikasi yang transparan, penyediaan peluang pelatihan dan pengembangan, dan keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan dapat membantu mengurangi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran praktik organisasi dalam memitigasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa organisasi yang menerapkan praktik ini memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi.
Studi tersebut juga menyoroti pentingnya praktik manajemen dalam membentuk persepsi karyawan tentang jaminan kerja. Misalnya, organisasi yang memberikan informasi yang jelas tentang jaminan kerja dan melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah. Selain itu, organisasi yang menyediakan peluang pelatihan dan pengembangan membantu karyawan memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan meningkatkan jaminan kerja mereka.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Kinerja Organisasi
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan bagi kinerja organisasi di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap kinerja organisasi dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kesejahteraan karyawan yang lebih rendah. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk perilaku dan sikap karyawan, khususnya kesediaan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi (organizational citizenship behaviors) dan niat mereka untuk meninggalkan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus berfokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan kinerja organisasi. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus berfokus pada penciptaan lingkungan kerja yang mendukung yang mendorong kesejahteraan dan keterlibatan karyawan.
Tentu, ini adalah terjemahan dari bagian artikel yang Anda berikan, disajikan dalam format markdown dengan frontmatter yang telah disesuaikan.
Peran Dukungan Sosial dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Dukungan sosial memainkan peran krusial dalam mengatasi ketidakamanan kerja (job insecurity) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran dukungan sosial dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa karyawan yang menerima dukungan sosial dari rekan kerja, anggota keluarga, dan teman memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan (employee well-being) yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya dukungan sosial dalam membentuk strategi coping karyawan, terutama penggunaan strategi coping yang berfokus pada masalah (problem-focused) dan yang berfokus pada emosi (emotion-focused).
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada penyediaan dukungan sosial bagi karyawan yang menghadapi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menciptakan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk dukungan sosial dan mendorong karyawan untuk mencari bantuan dari rekan kerja dan atasan. Selain itu, organisasi harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan (employee assistance programs).
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Kesehatan Mental
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap kesehatan mental di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap kesehatan mental dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat stres, kecemasan (anxiety), dan depresi yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk kesehatan mental karyawan, terutama penggunaan strategi coping dan akses mereka terhadap dukungan sosial.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan kesehatan mental karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk kesejahteraan dan keterlibatan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Kepemimpinan dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Kepemimpinan memainkan peran krusial dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran kepemimpinan dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa para pemimpin yang:
-
Memberikan informasi yang jelas tentang jaminan kerja,
-
Melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan
-
Menyediakan dukungan serta sumber daya untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja,
memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada pengembangan praktik kepemimpinan yang mengatasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menyediakan peluang pelatihan dan pengembangan untuk membantu para pemimpin memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi ketidakamanan kerja secara efektif. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk praktik kepemimpinan yang mempromosikan jaminan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Kinerja Kerja
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap kinerja kerja (job performance) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap kinerja kerja dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat kinerja kerja yang lebih rendah, terutama dalam tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas, inovasi, dan keterampilan pemecahan masalah (problem-solving skills). Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk motivasi dan keterlibatan karyawan, khususnya kemauan mereka untuk mengerahkan upaya ekstra dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan kinerja kerja. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk motivasi dan keterlibatan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti peluang pelatihan dan pengembangan dan program bantuan karyawan.
Peran Keterlibatan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Keterlibatan karyawan (employee engagement) memainkan peran krusial dalam memitigasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran keterlibatan karyawan dalam memitigasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa karyawan yang sangat terlibat memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya keterlibatan karyawan dalam membentuk strategi coping karyawan, terutama penggunaan strategi coping yang berfokus pada masalah dan yang berfokus pada emosi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada peningkatan keterlibatan karyawan untuk memitigasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan keterlibatan karyawan, seperti menyediakan peluang bagi karyawan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan melibatkan karyawan dalam penetapan tujuan dan manajemen kinerja. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk keterlibatan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Komitmen Organisasi
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap komitmen organisasi (organizational commitment) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap komitmen organisasi dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat komitmen organisasi yang lebih rendah, terutama pada karyawan yang memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi (organizational citizenship behaviors) dan niat mereka untuk meninggalkan organisasi (turnover intention).
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan komitmen organisasi. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk komitmen organisasi dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Desain Pekerjaan dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Desain pekerjaan (job design) memainkan peran krusial dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran desain pekerjaan dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa pekerjaan yang:
-
Memberikan informasi yang jelas tentang jaminan kerja,
-
Melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan
-
Menyediakan dukungan serta sumber daya untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja,
memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada merancang pekerjaan yang mengatasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus memberikan informasi yang jelas tentang jaminan kerja, melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan menyediakan dukungan serta sumber daya untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk praktik desain pekerjaan yang mempromosikan jaminan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Turnover Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap pergantian karyawan (employee turnover) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap turnover karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat turnover karyawan yang lebih tinggi, terutama pada karyawan yang memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan niat mereka untuk meninggalkan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk mengurangi turnover karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk retensi karyawan (employee retention) dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Budaya Organisasi dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Budaya organisasi (organizational culture) memainkan peran krusial dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran budaya organisasi dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa organisasi yang memiliki budaya yang suportif dan inklusif memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya budaya organisasi dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada pengembangan budaya organisasi yang suportif dan inklusif yang mengatasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus memberikan informasi yang jelas tentang jaminan kerja, melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan menyediakan dukungan serta sumber daya untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk praktik budaya organisasi yang mempromosikan jaminan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Kesehatan Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap kesehatan karyawan di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap kesehatan karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang lebih tinggi, serta tingkat kesehatan fisik yang lebih rendah. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk perilaku kesehatan karyawan, khususnya penggunaan strategi coping dan akses mereka terhadap dukungan sosial.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan kesehatan karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk kesehatan dan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Pengembangan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pengembangan karyawan (employee development) memainkan peran krusial dalam memitigasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran pengembangan karyawan dalam memitigasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa karyawan yang memiliki akses ke peluang pelatihan dan pengembangan memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoriti pentingnya pengembangan karyawan dalam membentuk strategi coping karyawan, terutama penggunaan strategi coping yang berfokus pada masalah dan yang berfokus pada emosi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada penyediaan peluang pengembangan karyawan untuk memitigasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menyediakan peluang pelatihan dan pengembangan untuk membantu karyawan memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan meningkatkan jaminan kerja mereka. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk pengembangan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Produktivitas Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap produktivitas karyawan di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap produktivitas karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat produktivitas karyawan yang lebih rendah, terutama dalam tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas, inovasi, dan keterampilan pemecahan masalah. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk motivasi dan keterlibatan karyawan, khususnya kemauan mereka untuk mengerahkan upaya ekstra dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk motivasi dan keterlibatan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti peluang pelatihan dan pengembangan dan program bantuan karyawan.
Peran Keseimbangan Kehidupan Kerja dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) memainkan peran krusial dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran keseimbangan kehidupan kerja dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa karyawan yang memiliki keseimbangan kehidupan kerja yang baik memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya keseimbangan kehidupan kerja dalam membentuk strategi coping karyawan, terutama penggunaan strategi coping yang berfokus pada masalah dan yang berfokus pada emosi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mempromosikan keseimbangan kehidupan kerja untuk mengatasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menyediakan pengaturan kerja yang fleksibel, seperti telecommuting dan jam kerja yang fleksibel, untuk membantu karyawan menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan pribadi mereka. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk keseimbangan kehidupan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Kepuasan Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap kepuasan karyawan (employee satisfaction) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap kepuasan karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat kepuasan karyawan yang lebih rendah, terutama pada karyawan yang memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan kepuasan karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk kepuasan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Pemberdayaan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pemberdayaan karyawan (employee empowerment) memainkan peran krusial dalam memitigasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran pemberdayaan karyawan dalam memitigasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa karyawan yang diberdayakan memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya pemberdayaan karyawan dalam membentuk strategi coping karyawan, terutama penggunaan strategi coping yang berfokus pada masalah dan yang berfokus pada emosi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada pemberdayaan karyawan untuk memitigasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menyediakan peluang bagi karyawan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan melibatkan karyawan dalam penetapan tujuan dan manajemen kinerja. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk pemberdayaan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Keterlibatan Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap keterlibatan karyawan (employee engagement) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap keterlibatan karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat keterlibatan karyawan yang lebih rendah, terutama pada karyawan yang memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan keterlibatan karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk keterlibatan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Keadilan Organisasi dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keadilan organisasi (organizational justice) memainkan peran krusial dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran keadilan organisasi dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa organisasi yang memiliki proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya keadilan organisasi dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mempromosikan keadilan organisasi untuk mengatasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus memberikan informasi yang jelas tentang jaminan kerja, melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan menyediakan dukungan serta sumber daya untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk keadilan organisasi dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Kepercayaan Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap kepercayaan karyawan (employee trust) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap kepercayaan karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat kepercayaan karyawan yang lebih rendah, terutama pada karyawan yang memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan kepercayaan karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk kepercayaan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Pengakuan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pengakuan karyawan (employee recognition) memainkan peran krusial dalam memitigasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran pengakuan karyawan dalam memitigasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa karyawan yang diakui atas kontribusi mereka memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya pengakuan karyawan dalam membentuk strategi coping karyawan, terutama penggunaan strategi coping yang berfokus pada masalah dan yang berfokus pada emosi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada pengakuan karyawan untuk memitigasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menyediakan peluang bagi karyawan untuk diakui atas kontribusi mereka, seperti melalui penghargaan dan insentif. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk pengakuan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Loyalitas Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap loyalitas karyawan (employee loyalty) di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap loyalitas karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat loyalitas karyawan yang lebih rendah, terutama pada karyawan yang memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan loyalitas karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk loyalitas karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Peran Keterlibatan Karyawan (Involvement) dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keterlibatan karyawan (employee involvement) memainkan peran krusial dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji peran keterlibatan karyawan dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan menemukan bahwa organisasi yang melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang lebih rendah dan tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi. Studi tersebut juga menyoroti pentingnya keterlibatan karyawan dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada melibatkan karyawan untuk mengatasi ketidakamanan kerja. Misalnya, organisasi harus menyediakan peluang bagi karyawan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan melibatkan karyawan dalam penetapan tujuan dan manajemen kinerja. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk keterlibatan karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja terhadap Motivasi Karyawan
Ketidakamanan kerja memiliki implikasi signifikan terhadap motivasi karyawan di Indonesia. Sebuah studi oleh Adiyatma dan Hasanati (2025) menguji dampak ketidakamanan kerja terhadap motivasi karyawan dan menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan tingkat motivasi karyawan yang lebih rendah, terutama pada karyawan yang memiliki tingkat ketidakamanan kerja yang tinggi. Studi tersebut juga menyoroti peran ketidakamanan kerja dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, khususnya kemauan mereka untuk terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi dan komitmen mereka terhadap tujuan organisasi.
Studi tersebut menyarankan bahwa organisasi harus fokus pada mengatasi ketidakamanan kerja untuk meningkatkan motivasi karyawan. Misalnya, organisasi harus menerapkan kebijakan yang mempromosikan jaminan kerja, menyediakan perlindungan sosial, dan meningkatkan kualitas pekerjaan. Selain itu, organisasi harus fokus pada penciptaan lingkungan kerja yang suportif yang memupuk motivasi karyawan dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Organisasi juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja, seperti layanan konseling dan program bantuan karyawan.
Dampak Ketidakamanan Kerja pada Kesejahteraan dan Kinerja Karyawan
Konsekuensi Psikologis dan Emosional dari Ketidakamanan Kerja
Ketidakamanan kerja (Job insecurity) memiliki konsekuensi psikologis dan emosional yang mendalam bagi karyawan. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang mengalami ketidakamanan kerja lebih mungkin melaporkan gejala stres, kecemasan (anxiety), dan depresi. Sebagai contoh, sebuah studi oleh Russo dan Terraneo (2020) menemukan bahwa ketidakamanan kerja secara signifikan memengaruhi kesejahteraan mental di berbagai konteks nasional, menyoroti sifat universal dari masalah ini (Russo & Terraneo, 2020). Demikian pula, Khudaykulov et al. (2024) menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja, yang diperburuk oleh pandemi COVID-19, menyebabkan peningkatan tingkat depresi dan kecemasan di kalangan pekerja di Tiongkok (Khudaykulov et al., 2024).
Dampak pada Kinerja Kerja dan Produktivitas
Efek negatif dari ketidakamanan kerja meluas ke kinerja kerja (job performance) dan produktivitas. Karyawan yang menganggap pekerjaan mereka tidak aman lebih mungkin mengalami penurunan motivasi dan keterlibatan (engagement), yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas. Sebuah studi oleh Sarfraz et al. (2023) mengungkapkan bahwa ketidakamanan kerja berdampak negatif pada kinerja kerja, yang dimediasi oleh kesejahteraan subjektif (subjective well-being) (Sarfraz et al., 2023). Demikian pula, Di Stefano et al. (2020) menemukan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan kepuasan kerja yang lebih rendah dan niat turnover (turnover intentions) yang lebih tinggi, yang semakin menggarisbawahi efek merugikan pada kinerja (Di Stefano et al., 2020).
Komitmen Organisasi dan Niat Turnover
Ketidakamanan kerja juga memengaruhi komitmen organisasi (organizational commitment) dan niat turnover. Karyawan yang merasa tidak aman tentang pekerjaan mereka cenderung kurang berkomitmen pada organisasi mereka dan lebih mungkin mempertimbangkan untuk pergi. Sebuah studi oleh Mauno et al. (2014) menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja berhubungan negatif dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi afektif, terutama di kalangan pekerja kontrak jangka tetap dan pekerja agensi (Mauno et al., 2014). Temuan ini didukung oleh Richter et al. (2020), yang menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja menyebabkan peningkatan niat turnover, dengan rumination (perenungan/pemikiran berulang) bertindak sebagai faktor mediasi (Richter et al., 2020).
Dimensi Ekonomi dan Kebijakan
Dimensi ekonomi dan kebijakan dari ketidakamanan kerja juga sangat penting. Kemerosotan ekonomi, perubahan kebijakan, dan stres umum atas jaminan kerja dapat memiliki efek riak pada kedudukan psikologis dan emosional karyawan. Sebuah survei oleh American Psychological Association (APA) menemukan bahwa lebih dari separuh pekerja A.S. melaporkan mengalami stres karena ketidakamanan kerja, dengan mereka yang terpengaruh oleh perubahan kebijakan lebih mungkin melaporkan hasil negatif seperti kelelahan emosional (emotional exhaustion) dan kesulitan fokus (APA, 2025). Demikian pula, sebuah studi oleh ScienceBlog.com menyoroti bahwa ketidakamanan kerja sangat menonjol di kalangan pegawai pemerintah, dengan 53% mengantisipasi perubahan lebih lanjut karena pergeseran kebijakan di masa depan (ScienceBlog.com, 2025).
Penelitian tentang Ketidakamanan Kerja di Indonesia
Di Indonesia, penelitian tentang ketidakamanan kerja telah berfokus pada berbagai sektor dan dampak krisis ekonomi. Sebuah studi oleh Setjo (2024) mengeksplorasi hubungan antara ketidakamanan kerja, kesejahteraan subjektif, dan kinerja kerja, menyoroti peran moderasi dari growth mindset (Setjo, 2024). Studi tersebut menemukan bahwa ketidakamanan kerja tidak selalu memengaruhi kesejahteraan subjektif secara langsung tetapi dapat memengaruhi kinerja kerja melalui dampaknya pada kesejahteraan. Selain itu, peran moderasi dari growth mindset menunjukkan bahwa karyawan dengan growth mindset lebih siap untuk mengatasi ketidakamanan kerja dan mempertahankan tingkat kinerja mereka.
Studi lain oleh Ulfa (2017) menyelidiki dampak ketidakamanan kerja pada kesejahteraan subjektif, dengan kelayakan kerja (employability) sebagai variabel moderasi di kalangan karyawan outsourcing di Sidoarjo (Ulfa, 2017). Temuan menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja berdampak negatif pada kesejahteraan subjektif, tetapi employability dapat memitigasi efek ini. Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya employability dan pengembangan keterampilan berkelanjutan dalam menyangga dampak negatif dari ketidakamanan kerja.
Analisis Komparatif Ketidakamanan Kerja di Indonesia dan Negara Lain
Studi komparatif telah menunjukkan bahwa dampak ketidakamanan kerja bervariasi di berbagai negara karena perbedaan dalam kebijakan pasar tenaga kerja, kondisi ekonomi, dan faktor budaya. Sebuah studi oleh Kim dan von dem Knesebeck (2015) secara sistematis meninjau studi yang menyelidiki risiko terkait kesehatan dari ketidakamanan kerja dan pengangguran, menyoroti bahwa ketidakamanan kerja dapat memiliki konsekuensi kesehatan yang lebih parah daripada pengangguran dalam beberapa konteks (Kim & von dem Knesebeck, 2015). Di Indonesia, dampak ketidakamanan kerja diperburuk oleh kurangnya perlindungan sosial dan sifat informal dari banyak hubungan kerja, membuat karyawan lebih rentan terhadap guncangan ekonomi.
Kemajuan Teknologi dan Ketidakamanan Kerja
Kemajuan teknologi, seperti otomasi dan digitalisasi, juga telah berkontribusi pada ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Darvishmotevali dan Ali (2020) menguji dampak ketidakamanan kerja pada kinerja kerja, menyoroti peran moderasi dari modal psikologis (psychological capital) (Darvishmotevali & Ali, 2020). Temuan menunjukkan bahwa modal psikologis dapat membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja dan mempertahankan tingkat kinerja mereka. Di Indonesia, adopsi teknologi yang cepat di berbagai sektor telah menimbulkan kekhawatiran tentang penggantian pekerjaan (job displacement) dan perlunya program reskilling dan upskilling untuk mengatasi tantangan ini.
Respons Psikologis dan Perilaku terhadap Ketidakamanan Kerja
Respons psikologis dan perilaku karyawan terhadap ketidakamanan kerja dapat sangat bervariasi. Sebuah studi oleh Probst dan Brubaker (2001) mengeksplorasi efek ketidakamanan kerja pada hasil keselamatan karyawan, menemukan bahwa ketidakamanan kerja dapat menyebabkan peningkatan risiko keselamatan dan berkurangnya kepatuhan terhadap protokol keselamatan (Probst & Brubaker, 2001). Demikian pula, sebuah studi oleh Shoss (2017) memberikan tinjauan integratif penelitian ketidakamanan kerja, menyoroti perlunya studi masa depan untuk mengeksplorasi mekanisme mendasar dan kondisi batas dari efek ketidakamanan kerja (Shoss, 2017).
Ketidakamanan Kerja dan Kinerja Organisasi
Ketidakamanan kerja juga dapat memiliki implikasi signifikan bagi kinerja organisasi. Sebuah studi oleh Stankevičiūtė et al. (2021) menguji efek negatif ketidakamanan kerja dalam siklus kebaikan antara kepercayaan pada organisasi, kesejahteraan subjektif, dan kinerja tugas, terutama dalam konteks VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity) (Stankevičiūtė et al., 2021). Temuan menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja mengganggu siklus ini, yang mengarah pada berkurangnya kepercayaan, kesejahteraan, dan kinerja. Di Indonesia, dampak ketidakamanan kerja pada kinerja organisasi sangat relevan di sektor-sektor seperti manufaktur dan jasa, di mana ketidakamanan kerja lazim.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Mengatasi ketidakamanan kerja membutuhkan pendekatan multifaset yang mencakup intervensi kebijakan, praktik organisasi, dan strategi coping individu. Sebuah studi oleh Booth (2016) menekankan pentingnya penelitian kualitatif dalam memahami kompleksitas ketidakamanan kerja dan mengembangkan intervensi yang efektif (Booth, 2016). Demikian pula, sebuah studi oleh Tranfield et al. (2003) menyoroti perlunya pengetahuan manajemen yang berdasarkan bukti (evidence-informed management knowledge) untuk mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya (Tranfield et al., 2003).
Di Indonesia, intervensi kebijakan untuk mengatasi ketidakamanan kerja harus fokus pada penguatan perlindungan sosial, mempromosikan employability, dan memupuk lingkungan kerja yang suportif. Praktik organisasi harus mencakup komunikasi yang transparan, keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan, dan penyediaan sumber daya serta dukungan untuk membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja. Strategi coping individu harus menekankan pengembangan growth mindset, modal psikologis, dan resiliensi untuk memitigasi dampak negatif dari ketidakamanan kerja.
Arah Penelitian Masa Depan
Penelitian masa depan tentang ketidakamanan kerja harus mengeksplorasi mekanisme mendasar dan kondisi batas dari efeknya, serta efektivitas intervensi yang berbeda. Studi longitudinal sangat berharga dalam memahami konsekuensi jangka panjang dari ketidakamanan kerja dan dinamika dampaknya dari waktu ke waktu. Studi komparatif di berbagai negara dan sektor dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor kontekstual yang memengaruhi hubungan antara ketidakamanan kerja dan hasilnya. Selain itu, penelitian harus fokus pada peran kemajuan teknologi, kebijakan ekonomi, dan praktik organisasi dalam membentuk ketidakamanan kerja dan konsekuensinya.
Di Indonesia, penelitian masa depan harus fokus pada dampak ketidakamanan kerja di sektor-sektor spesifik, seperti manufaktur, jasa, dan sektor informal, serta efektivitas intervensi yang berbeda dalam mengatasi ketidakamanan kerja. Studi longitudinal dapat memberikan wawasan berharga tentang konsekuensi jangka panjang dari ketidakamanan kerja dan dinamika dampaknya dalam konteks Indonesia. Studi komparatif dengan negara lain dapat menyoroti tantangan dan peluang unik dalam mengatasi ketidakamanan kerja di Indonesia dan menginformasikan pengembangan kebijakan dan praktik yang efektif.
Peran Dukungan Sosial dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Dukungan sosial memainkan peran krusial dalam membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Wening (2005) menguji dampak ketidakamanan kerja pada kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan niat turnover di kalangan penyintas restrukturisasi (Wening, 2005). Temuan menunjukkan bahwa dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan dapat memitigasi efek negatif ketidakamanan kerja pada kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Di Indonesia, pentingnya dukungan sosial dalam mengatasi ketidakamanan kerja sangat relevan di sektor-sektor di mana ketidakamanan kerja lazim, seperti manufaktur dan jasa.
Peran Kepemimpinan dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Kepemimpinan memainkan peran penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Sebuah studi oleh Diener dan Chan (2011) menyoroti pentingnya kesejahteraan subjektif dalam mempromosikan kesehatan dan umur panjang, menunjukkan bahwa praktik kepemimpinan yang meningkatkan kesejahteraan dapat membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja (Diener & Chan, 2011). Demikian pula, sebuah studi oleh Diener et al. (2015) menekankan peran akun nasional kesejahteraan subjektif dalam mempromosikan kesejahteraan dan mengatasi ketidakamanan kerja (Diener et al., 2015). Di Indonesia, praktik kepemimpinan yang mempromosikan transparansi, komunikasi, dan keterlibatan karyawan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya.
Peran Pengembangan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pengembangan karyawan sangat penting dalam memitigasi dampak negatif dari ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Sinaga (2018) menguji hubungan antara ketidakamanan kerja dan kesejahteraan subjektif di kalangan karyawan outsourcing, menyoroti pentingnya employability dan pengembangan keterampilan berkelanjutan dalam menyangga efek negatif dari ketidakamanan kerja (Sinaga, 2018). Demikian pula, sebuah studi oleh Situmorang dan Tentama (2018) mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif di kalangan pedagang kaki lima, menekankan peran dukungan sosial dan keterlibatan komunitas dalam mempromosikan kesejahteraan (Situmorang & Tentama, 2018). Di Indonesia, program pengembangan karyawan yang berfokus pada reskilling, upskilling, dan pembelajaran berkelanjutan dapat membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan employability mereka.
Peran Keseimbangan Kehidupan Kerja dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keseimbangan kehidupan kerja (Work-Life Balance) sangat penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan mempromosikan kesejahteraan karyawan. Sebuah studi oleh Asima dan Nilawati (2016) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kepuasan kerja dan kinerja, menyoroti peran keseimbangan kehidupan kerja dalam meningkatkan kesejahteraan dan memitigasi efek negatif dari ketidakamanan kerja (Asima & Nilawati, 2016). Demikian pula, sebuah studi oleh Mendis dan Weerakkody (2018) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja karyawan di industri telekomunikasi di Sri Lanka, menekankan peran keseimbangan kehidupan kerja dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Mendis & Weerakkody, 2018). Di Indonesia, kebijakan dan praktik keseimbangan kehidupan kerja yang mempromosikan fleksibilitas, otonomi, dan dukungan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Pemberdayaan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pemberdayaan karyawan (Employee Empowerment) sangat penting dalam memitigasi dampak negatif dari ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Saina et al. (2016) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja dan kompensasi pada kinerja karyawan di PT PLN, menyoroti peran pemberdayaan dan otonomi dalam meningkatkan kinerja dan kesejahteraan (Saina et al., 2016). Demikian pula, sebuah studi oleh Mulanya dan Kagiri (2018) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja karyawan di komisi konstitusional di Kenya, menekankan peran pemberdayaan dan keterlibatan dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Mulanya & Kagiri, 2018). Di Indonesia, praktik pemberdayaan karyawan yang mempromosikan otonomi, keterlibatan, dan pengambilan keputusan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Keadilan Organisasi dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keadilan organisasi (Organizational Justice) memainkan peran penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Sebuah studi oleh Haider et al. (2018) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja kerja, menyoroti peran keadilan organisasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Haider et al., 2018). Demikian pula, sebuah studi oleh Smith et al. (2016) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja kerja dalam profesi akuntansi, menekankan peran keadilan organisasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Smith et al., 2016). Di Indonesia, praktik keadilan organisasi yang mempromosikan keadilan, transparansi, dan kesetaraan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Pengakuan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pengakuan karyawan (Employee Recognition) sangat penting dalam memitigasi dampak negatif dari ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Magnier-Watanabe et al. (2017) menguji dampak organizational virtuousness pada kinerja kerja di Jepang, menyoroti peran pengakuan dan apresiasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Magnier-Watanabe et al., 2017). Demikian pula, sebuah studi oleh Darvishmotevali et al. (2017) mengeksplorasi dampak ketidakamanan kerja pada kinerja karyawan garis depan (frontline employee), menekankan peran pengakuan dan dukungan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Darvishmotevali et al., 2017). Di Indonesia, praktik pengakuan karyawan yang mempromosikan apresiasi, umpan balik, dan penghargaan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Keterlibatan Karyawan (Involvement) dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keterlibatan karyawan (Employee Involvement) sangat penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Sebuah studi oleh Rizky dan Sadida (2019) menguji hubungan antara ketidakamanan kerja dan kesejahteraan karyawan di kalangan karyawan di perusahaan yang menerapkan PHK di Jakarta, menyoroti peran keterlibatan dan partisipasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan memitigasi efek negatif dari ketidakamanan kerja (Rizky & Sadida, 2019). Demikian pula, sebuah studi oleh Sidik (2019) mengeksplorasi dampak kemampuan, keseimbangan kehidupan kerja, dan kepuasan kerja pada kinerja karyawan, menekankan peran keterlibatan dan partisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Sidik, 2019). Di Indonesia, praktik keterlibatan karyawan yang mempromosikan partisipasi, pengambilan keputusan, dan komunikasi dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Budaya Organisasi dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Budaya organisasi memainkan peran penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Sebuah studi oleh Nurhasanah et al. (2019) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kepuasan kerja dan kinerja di kalangan karyawan wanita di bank komersial di Kendari, menyoroti peran budaya organisasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Nurhasanah et al., 2019). Demikian pula, sebuah studi oleh Saina et al. (2016) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja dan kompensasi pada kinerja karyawan di PT PLN, menekankan peran budaya organisasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Saina et al., 2016). Di Indonesia, praktik budaya organisasi yang mempromosikan dukungan, komunikasi, dan kolaborasi dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Pengembangan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pengembangan karyawan sangat penting dalam memitigasi dampak negatif dari ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Sinaga (2018) menguji hubungan antara ketidakamanan kerja dan kesejahteraan subjektif di kalangan karyawan outsourcing, menyoroti pentingnya employability dan pengembangan keterampilan berkelanjutan dalam menyangga efek negatif dari ketidakamanan kerja (Sinaga, 2018). Demikian pula, sebuah studi oleh Situmorang dan Tentama (2018) mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif di kalangan pedagang kaki lima, menekankan peran dukungan sosial dan keterlibatan komunitas dalam mempromosikan kesejahteraan (Situmorang & Tentama, 2018). Di Indonesia, program pengembangan karyawan yang berfokus pada reskilling, upskilling, dan pembelajaran berkelanjutan dapat membantu karyawan mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan employability mereka.
Peran Keseimbangan Kehidupan Kerja dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keseimbangan kehidupan kerja sangat penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan mempromosikan kesejahteraan karyawan. Sebuah studi oleh Asima dan Nilawati (2016) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kepuasan kerja dan kinerja, menyoroti peran keseimbangan kehidupan kerja dalam meningkatkan kesejahteraan dan memitigasi efek negatif dari ketidakamanan kerja (Asima & Nilawati, 2016). Demikian pula, sebuah studi oleh Mendis dan Weerakkody (2018) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja karyawan di industri telekomunikasi di Sri Lanka, menekankan peran keseimbangan kehidupan kerja dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Mendis & Weerakkody, 2018). Di Indonesia, kebijakan dan praktik keseimbangan kehidupan kerja yang mempromosikan fleksibilitas, otonomi, dan dukungan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Pemberdayaan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pemberdayaan karyawan sangat penting dalam memitigasi dampak negatif dari ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Saina et al. (2016) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja dan kompensasi pada kinerja karyawan di PT PLN, menyoroti peran pemberdayaan dan otonomi dalam meningkatkan kinerja dan kesejahteraan (Saina et al., 2016). Demikian pula, sebuah studi oleh Mulanya dan Kagiri (2018) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja karyawan di komisi konstitusional di Kenya, menekankan peran pemberdayaan dan keterlibatan dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Mulanya & Kagiri, 2018). Di Indonesia, praktik pemberdayaan karyawan yang mempromosikan otonomi, keterlibatan, dan pengambilan keputusan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Keadilan Organisasi dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keadilan organisasi memainkan peran penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Sebuah studi oleh Haider et al. (2018) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja kerja, menyoroti peran keadilan organisasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Haider et al., 2018). Demikian pula, sebuah studi oleh Smith et al. (2016) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kinerja kerja dalam profesi akuntansi, menekankan peran keadilan organisasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Smith et al., 2016). Di Indonesia, praktik keadilan organisasi yang mempromosikan keadilan, transparansi, dan kesetaraan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Pengakuan Karyawan dalam Memitigasi Ketidakamanan Kerja
Pengakuan karyawan sangat penting dalam memitigasi dampak negatif dari ketidakamanan kerja. Sebuah studi oleh Magnier-Watanabe et al. (2017) menguji dampak organizational virtuousness pada kinerja kerja di Jepang, menyoroti peran pengakuan dan apresiasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Magnier-Watanabe et al., 2017). Demikian pula, sebuah studi oleh Darvishmotevali et al. (2017) mengeksplorasi dampak ketidakamanan kerja pada kinerja karyawan garis depan, menekankan peran pengakuan dan dukungan dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Darvishmotevali et al., 2017). Di Indonesia, praktik pengakuan karyawan yang mempromosikan apresiasi, umpan balik, dan penghargaan dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Keterlibatan Karyawan (Involvement) dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Keterlibatan karyawan sangat penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Sebuah studi oleh Rizky dan Sadida (2019) menguji hubungan antara ketidakamanan kerja dan kesejahteraan karyawan di kalangan karyawan di perusahaan yang menerapkan PHK di Jakarta, menyoroti peran keterlibatan dan partisipasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan memitigasi efek negatif dari ketidakamanan kerja (Rizky & Sadida, 2019). Demikian pula, sebuah studi oleh Sidik (2019) mengeksplorasi dampak kemampuan, keseimbangan kehidupan kerja, dan kepuasan kerja pada kinerja karyawan, menekankan peran keterlibatan dan partisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Sidik, 2019). Di Indonesia, praktik keterlibatan karyawan yang mempromosikan partisipasi, pengambilan keputusan, dan komunikasi dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Peran Budaya Organisasi dalam Mengatasi Ketidakamanan Kerja
Budaya organisasi memainkan peran penting dalam mengatasi ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Sebuah studi oleh Nurhasanah et al. (2019) menguji dampak keseimbangan kehidupan kerja pada kepuasan kerja dan kinerja di kalangan karyawan wanita di bank komersial di Kendari, menyoroti peran budaya organisasi dalam mempromosikan kesejahteraan dan kinerja (Nurhasanah et al., 2019). Demikian pula, sebuah studi oleh Saina et al. (2016) mengeksplorasi dampak keseimbangan kehidupan kerja dan kompensasi pada kinerja karyawan di PT PLN, menekankan peran budaya organisasi dalam meningkatkan kesejahteraan dan kinerja (Saina et al., 2016). Di Indonesia, praktik budaya organisasi yang mempromosikan dukungan, komunikasi, dan kolaborasi dapat membantu mengatasi ketidakamanan kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Kesimpulan
Ketidakamanan kerja, didefinisikan sebagai ancaman yang dirasakan akan kehilangan pekerjaan atau perubahan yang tidak disengaja dalam status pekerjaan, adalah masalah multifaset yang secara signifikan memengaruhi kesejahteraan karyawan dan kinerja organisasi. Penelitian yang ditinjau dalam laporan ini menyoroti dimensi kognitif dan afektif dari ketidakamanan kerja, yang bervariasi di antara individu dan konteks organisasi (De Witte, 2005; Sverke, Hellgren, & Näswall, 2002). Ketidakamanan kerja dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, termasuk kemerosotan ekonomi, kemajuan teknologi, restrukturisasi organisasi, dan karakteristik individu seperti sifat kepribadian dan perceived employability (De Witte, Pienaar, & De Cuyper, 2016; Burgard, Brand, & House, 2009). Pandemi COVID-19 telah memperburuk ketidakamanan kerja secara global, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata, perhotelan, dan ritel, serta di kalangan pekerja informal yang kekurangan perlindungan sosial (Eurofound, 2024).
Di Indonesia, ketidakamanan kerja telah menjadi perhatian yang berkembang, terutama di sektor informal, yang mempekerjakan sebagian besar angkatan kerja. Studi oleh Kelpin Adiyatma dan Nida Hasanati (2025) telah menunjukkan bahwa ketidakamanan kerja dikaitkan dengan peningkatan stres, kecemasan, dan depresi, serta kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang lebih rendah. Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan untuk mengatasi ketidakamanan kerja, seperti perluasan program perlindungan sosial dan promosi pekerjaan formal. Namun, tantangan tetap ada dalam memastikan efektivitas kebijakan-kebijakan ini, terutama dalam menjangkau pekerja informal. Penelitian masa depan harus fokus pada evaluasi dampak kebijakan ini dan identifikasi strategi untuk meningkatkan jangkauan dan efektivitasnya. Selain itu, diperlukan penelitian interdisipliner yang mengintegrasikan wawasan dari psikologi, sosiologi, ekonomi, dan perilaku organisasi untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang ketidakamanan kerja dan konsekuensinya. Dengan mengatasi ketidakamanan kerja melalui pendekatan multifaset yang melibatkan organisasi, pembuat kebijakan, dan karyawan, dimungkinkan untuk meningkatkan jaminan kerja dan melindungi hak-hak pekerja, yang pada akhirnya berkontribusi pada angkatan kerja yang lebih stabil dan produktif (Adiyatma & Hasanati, 2025; De Witte, 2005; Sverke, Hellgren, & Näswall, 2002; De Witte, Pienaar, & De Cuyper, 2016; Burgard, Brand, & House, 2009; Eurofound, 2024).
Referensi
Asima, D., & Nilawati, L. (2016). The impact of work-life balance on job satisfaction and performance. The International Journal of Business & Management, 4(3), 260–267.
Booth, A. (2016). Qualitative research in job insecurity: A systematic review. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-being, 11(1), 31238.
Burgard, S. A., Brand, J. E., & House, J. S. (2009). Toward a better understanding of the relationship between job insecurity and health. Journal of Health and Social Behavior, 50(4), 447–461.
Darvishmotevali, M., & Ali, F. (2020). The impact of job insecurity on job performance: The moderating role of psychological capital. International Journal of Hospitality Management, 88, 102462.
Darvishmotevali, M., Ali, F., & Al-Samarraie, O. (2017). The impact of job insecurity on frontline employee performance: The role of psychological capital. Journal of Human Resources in Hospitality & Tourism, 16(3), 241–259.
De Witte, H. (2005). Job insecurity: Review of the literature and implications for research. European Journal of Work and Organizational Psychology, 14(3), 185–204.
De Witte, H., Pienaar, J., & De Cuyper, N. (2016). A meta-analytical review of the consequences of job insecurity. European Journal of Work and Organizational Psychology, 25(6), 843–856.
Diener, E., & Chan, M. Y. (2011). Happy people live longer: Subjective well-being contributes to health and longevity. Applied Psychology: Health and Well-Being, 3(1), 1–43.
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2015). National accounts of subjective well-being. American Psychologist, 70(3), 234–242.
Di Stefano, G., D’Amato, A., & Cirella, S. (2020). Job insecurity and its effects on job satisfaction and turnover intention: The role of perceived organizational support. Frontiers in Psychology, 11, 1329.
Eurofound. (2024). Living and working in Europe 2024. Publications Office of the European Union.
Haider, M. H., Rasheed, M. A., & Akbar, W. (2018). Impact of work-life balance on job performance: The moderating role of organizational justice. International Journal of Human Resource Studies, 8(3), 154–168.
Kelpin Adiyatma, M. F., & Nida Hasanati, A. (2025). The consequences of job insecurity in the workplace: A study in the Indonesian context. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 15(1), 45–60.
Khudaykulov, A., Sun, B., Zhang, C., & Ruan, J. (2024). Job insecurity and its impact on depression and anxiety among workers in China: The role of fear of missing out and psychological resilience during COVID-19. International Journal of Mental Health and Addiction, 22(4), 1184–1200.
Kim, T. J., & von dem Knesebeck, O. (2015). Is job insecurity associated with health and well-being? A systematic review and meta-analysis. BMC Public Health, 15(1), 1–11.
Magnier-Watanabe, R., Orsini, P., & Takashima, H. (2017). The impact of organizational virtuousness on job performance in Japan: The moderating role of job security. Journal of Business Ethics, 145(3), 551–564.
Mauno, S., De Witte, H., & Maattala, K. (2014). The relationship between job insecurity, job satisfaction, and organizational commitment: A study of different employment types. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 87(1), 33–51.
Mendis, S., & Weerakkody, C. (2018). The impact of work-life balance on employee performance in the telecommunications industry in Sri Lanka. International Journal of Research in Business and Social Science, 7(1), 1–10.
Mulanya, E. J., & Kagiri, C. W. (2018). Impact of work-life balance on employee performance in constitutional commissions in Kenya. International Journal of Social Sciences and Information Technology, 4(2), 11–22.
Nurhasanah, A. N., Samani, M., & Waspodo, A. (2019). The impact of work-life balance on job satisfaction and performance among female employees in commercial banks in Kendari. Journal of Management and Business Review, 6(1), 22–35.
Probst, T. M., & Brubaker, T. L. (2001). The effects of job insecurity on employee safety outcomes: A mediated moderation model. Journal of Occupational Health Psychology, 6(2), 139–149.
Richter, A., Van Dellen, O. S., & De Witte, H. (2020). Job insecurity and turnover intentions: The mediating role of rumination. Frontiers in Psychology, 11, 712.
Rizky, A., & Sadida, H. (2019). Relationship between job insecurity and employee well-being among employees in companies implementing layoffs in Jakarta. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 8(1), 20–35.
Russo, M., & Terraneo, M. (2020). Job insecurity and mental well-being in different national contexts. Social Indicators Research, 152(2), 485–507.
Saina, E. M., Kisingu, M. J., & Kioko, J. S. (2016). Impact of work-life balance and compensation on employee performance in PT PLN (Persero) Area Pelayanan dan Jaringan Kendari. International Journal of Engineering and Applied Sciences, 3(5), 10–18.
Sarfraz, M., Joondani, R., & Sarfraz, M. (2023). Job insecurity’s effect on job performance: The role of subjective well-being. Decision, Risk, and Management Review, 12(1), 1–15.
Setjo, C. (2024). Job insecurity, subjective well-being, and job performance: The moderating role of growth mindset. International Journal of Business Review (IJBR), 4(2), 12244.
Shoss, M. K. (2017). Job insecurity: An integrative review and agenda for future research. Journal of Management, 43(1), 159–189.
Sidik, U. (2019). The impact of ability, work-life balance, and job satisfaction on employee performance. Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura, 22(1), 40–55.
Sinaga, J. N. (2018). Hubungan antara job insecurity dengan subjective well-being pada karyawan outsourcing. Jurnal Kesehatan, 1(1), 40–50.
Situmorang, S. S., & Tentama, F. (2018). Factors influencing subjective well-being among street vendors. International Journal of Advanced Research in Civil, Structural, Environmental and Infrastructure Engineering and Developing, 5(3), 40–55.
Smith, R. L., Smith, E. J., & Smith, M. L. (2016). Work-life balance and job performance in the accounting profession: The role of organizational justice. Journal of Organizational Behavior, 37(5), 780–795.
Stankevičiūtė, Ž., Staniškienė, V., & Jūraitė, L. (2021). The negative effect of job insecurity in the virtuous cycle between trust in organization, subjective well-being, and task performance in VUCA context. Frontiers in Psychology, 12, 796669.
Tranfield, D., Denyer, D., & Smart, P. (2003). Towards a methodology for developing evidence‐informed management knowledge by means of systematic review. British Journal of Management, 14(3), 207–222.
Ulfa, H. (2017). Dampak job insecurity terhadap subjective well-being dengan employability sebagai variabel moderator pada karyawan outsourcing di Sidoarjo. Universitas Airlangga.
Wening, P. (2005). Hubungan antara job insecurity dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan intensi turnover pada karyawan yang mengalami restrukturisasi. Tesis tidak diterbitkan, Universitas Gadjah Mada.